BLOG ORANG GANTENG

Rabu, 17 Maret 2010

Kerajaan-kerajaan Melayu Riau

KATA PENGATAR

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, sehingga kami dapat menulis struktur ini dengan judul
“ Kerajaan-kerajaan Melayu Riau “ dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
Shalawat beriring salam buat junjungan alam yaitu Nabi Muhammad Saw yang telah mengajakkan kita dari alam kegelapan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan ini sejak dari beliaulah peradaban Islam itu muncul hingga sekarang. Hingga terbagi-bagi dan timbullah adat istiadat yang sesuai dengan zaman mereka,.
Semoga ini dapat bermanfaat bagi kita semua, sebelum kami menutup kami akan memberikan seuntai pantun, yang berbunyi :
Banyaklah padi – perkara padi
Padi ladang buahnya bernas
Banyaklah budi perkara budi
Budi orang takkan terbalas

Saya sebagai penulis tentunya tulisan ini kurang kesempurnaannya,oleh karena itu apabila terdapat kesalahan kami mohon kritik dan sarannya yang bersifat membangun. Dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kerajaan Riau Lingga, Kerajaan Siak, kerajaan Indragiri dan Kerajaan Pelalawan, merupakan kerajaan –kerajaan Melayu yang sudah bertambah pada masa abad ke 18. Kesemua kerajaan Melayau Riau ini menunjukkan bahwa masyarakat Riau pada masa itu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Sehingga orang-orang melayu sudah dikatakan telah mempunyai ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama. Karena kalau kita baca sejarah dari kerajaan – kerajaan melayu RIau terlihat megah dan mencapai puncak kejayaan pada masa itu.

Maka dari itulah kami ingin mengetahui dan mempelajari sesuai dengan sumber dan Literature yang ada untuk mnggali lebih mendalam tentang kerajaan – kerajaan melayu yang ada di Riau. Shingga akan menambah wawasan bagi anak – anak Riau khusunya Mahasiswa STAI Nurul Hidayah Selatpanjang

Untuk itu pada tahun 1992 dengan dukungan Pemda Tingkat I Riau sebuah Tim peneliti – peneliti Sejarah Daerah Riau divbentuk dan dimulai bekerja untuk menghasilkan karya histografi berupa buku sejarah dari masing-masing kerajaan yang pernah ada di Riau, pada tahun 1992 telah diterbitkan buku sejarah “ Sultan Yarif Qosim II “ ( Raja terakhir kerajaan Siak Sri Indrapura Tahun 1993 terbit [ula buku “ Dari kesultanan Melayu Johor Riau ke Kesultanan Melayu Lingga – Riau “ dan pada awal tahun 1994 yang lalu buku-buku sejarah kesultanan Indragiri).

Pada pertengahan tahun1994 ini Tim peneliti dan pengkajian sumber-sumber sejarah daerah Riau melanjutkan kegiatan meneliti / menulis sejarah Kunto Darussalam yang lokasinya terletak di Kabupaten Kampar dan sejarah kerajaan Pelalawan yang terletak di Kabupaten Bengkalis.


1.2 Permasalahan
Adapun masalah yang dikemukakan dalam penulisan ini adalah mengenai Kerajaan Melayu Riau. Diantaranya : Kerajaan Siak, Pelalawan dan sebagainya.

1.3 Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup yang akan kami bahas adalah :
- Sejarah Kerajaan Siak
- Kerajaan Riau Lingga
- Kerajaan Indra Giri
- Sejarah Kerajaan Pelalawan

1.4 Metode
Metode yang kami pakai dalam pembuatan makalah ini adalah Perpustakaan dan Histories

BAB II
KERAJAAN- KERAJAAN MELAYU RIAU

2.2. Sejarah Kerajaan-kerajaan Melayu Riau
Sejarah Kerajaan-kerajaan Melayu Riau yaitu :
a. Sejarah Kerajaan Siak
b. Sejarah Kerajaan Riau Lingga
c. Sejarah Kerajaan Indragiri
d. Sejarah Kerajaan Pelalawan

2.2. 1. Sejarah Kerajaan Siak
Pendiri kerajaan Siak adalah Raja Kecil dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah (1723-1746), yang berpusat di Buntan. Menurut sejarah Raja Kecil merupakan Putra Seultan Mahmud Syah II dari istri gundiknya. Pada waktu terjadi kudeta dikesultanan Melayu Johor Riau terhadap Sultan Mahmud Syah II oleh Bendahara. Sultan Mahmud Syah II wafat, yang berkebetulan istrinya sedang hamil diselamatkan oleh hulubalangnya ke Jawa diperkirakan di Banten. Kemudian dibawa oleh Ibunya ke Palembang, Jambi, Indragiri dan selanjutnya ke Pengaruyung.
Di Paguyung inilah Raja Kecil dididik dan dibesarkan dan setelah beliau sewasa, maka keinginanya untuk menjadi raja untuk mengantikan ayahnya sangat besar. Maka berangkatlah beliau menuju Johor untuk merebut tahta kerajaan dari tanga Datuk Bendahara yang bergelar Sultan abdul Jalil Riayat Syah IV (1699-1718). Di dalam perjalanan tersebut Raja Kecil diiringi oleh 4 orang datuk sebgai penasehat dan seorang penjawat khusus serta bebeapa hulu baling. Kemudian beliau dibantu oleh Datin-dating di Bengkalis dan melakukan kerja sama dengan orang-orang yang tidak senang kepada Sultan Abdul Jalil Riayah Syah IV. Dalam pendaratan pertama di pangkalan Rama, Raja Kecil dapat mengalahkan pasukan Sultan Abdul Jalil Riayah Syah IV dan akhirnya beliau Mangkat diri sebagai Sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rachamad Syah (1718-1722). Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah.
Raja Kecil mempunyai 3 orang Putra :
a. Tengku Alamudin (putra sulung)
b. Tengku Tengah (meninggal)
c. Tengku Buang Asmara (putra bungsu)

Pemerintahan Raja Kecil berpusat di Buatan. Setelah Raja Kecil wafat bergelar Almarhum Buatan dan beliau diganti oleh putra yang bungsu bergelar SultanAbdul Jalil Jalaludin Syah (1746-1765). Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Jalaludin Syah pusat pemerintahan berada di Mampura. Tujuannya adalah untuk menjauhkan diri anaa,man VOC. Sebgai strategi pertahanan, sebab Mampura terletak jauh di Pedalaman.
Pada tahun 1765 Sultan Mampura I wafat dengan gelar Marhum Mampura. Pengantinya diangkat putra Tengku Ismail bergelar Sultan Abdul Jalil Jalaludin Syah, setelah wafat beliau diganti oleh Kesultanan Sanapelan.
Kesultanan sanapelan dengan Raja bernama Tengku Alam. Tengku Alam naik tahta tahun 1766-1780 bergelar sultan Abdul Jalil Alamuddin Syaj. Sultan ini memindahlkan pusat pemerintahan dari Mampura ke Snapelan.
Setelah pusat pemerintahan dipindahkan ke Senapelan, maka daerah ini semakin hari semakin berkembang. Kemudian bndarini diberi nama “Bandar Pekan”, yang kemudian terkenal dengan nama Pekanbaru sekarang ini.
Dengan Usaha beliau memperbesar Bandar perdangan itu, dibukalah jalan-jalan perhubungan dagang yang menghubungkan senapelan dengan daerah-daerah lain, usaha ini berhasil, sehingga Kesultanan Senapelan bertambah maju. Setelah berhasil mengembangkan daerahnya. Sultan Alamuddin mangkat pada tahun 1780 dan dimakamkan di bukit Snapelan, yang kemudian bergelar Marhum bukit, setelah itu pemerintahan dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam syah (1780-1782).
Dalam pemerintahannya inilah Pekanbaru menjadi suatu Bandar perdagangan yang ramai. Pemerintahan ini berlangsung selama dua tahun saja. Nbeliau wafat disebut dengan gelar “Marhum Pekan”. Oleh karena beliau beliau tidak berputra maka Dewan Orang Besar Kesultanan mengangkat keturunan laki-laki dari sultan Ismail Abdul Jalil Jalaludi syah yang bernama yahya Abdul Jalil Muzafar syah (1782-1784).
Pada masa pemerintahan Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah ini pusat pemerintahan dipindahkan kembali ke Mapura dengan alasan antara lain : Timbulnya ketegangan dari pengikut Sultan Alamuddin Syah dan untuk meluhurkan kembali Mapura, tempat ayahnya Yahya pernah bertahta serta masih banyak pengikut-pengikut marhhum Mapura. Pemerintahan ini tida lama hanya 2 tahun. Kemudian beliau pergi ke Dungun (Malaka) dan mengangkat disana tahun 1784, lalu digelari dengan Marhum Mangkat di Dugun. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin, putra dari Embung Badariah dengan Syaed Syarif Utsman syahbuddin seorang arab. Semenjak itu gelar sultan-sultan Siak mempergunakan Syaed. Tengku Embung Badariah putri dari Sultan Alamuddin Syah (Marhum Bukit).
Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin memerintah dari tahun 1780-1810. kemudian pusat pmerintahan di pindahkan kembali dai Mapura ke Kota Tinggi atau Kota SIak Sri Indrapura sekarang (seberangan Mapura). Sultan menghidupkan kembali nama Siak Sri Indrapura yang telah diberikan oleh seorang Panglima kerajaan Singosari – Panglima Indrawarman – yang menjadi panglima pada expedisi melayu tahun 1272-1289. pemindahan ini beralasan untuk memudahkan pengasan lalulintas perdagangan dan kesamaan wilayah, karena Mapura terletak di pnginggir Sungai Siak.
Dibawah pim[inan Syarif Ali berdiri dan di dampingi oleh panglima besar Sayed Abdurrachman, Tengku besar sayed achmad. Komandan angkatan laut Datuk Laksmana, dilakukan penyerangan ke daerah-daerah Temiang, Panai, Asahan, deli serdang, Langkat Bilah Kuolah, Begadai, Kota Pinang, Pengarawan, penyerangan ini membawa kemenangan Siak, sehingga daerah-daerah itu menjadi jajahannya, kemudian terkenal dengan 12 jajahan Siak.
Dalam mempertahankan kekuasaannya, Sultan ini mengangkat saudaranya menjadi Sultan di daerah yang ditaklukkannya, yaitu Sultan Syarif Abdurrahman Fachruddin di tempatkan di Pelalawan. Sultan Syarif mangkat pada tahun 1810. pemerintahan dilanjutkan oleh Sultan Ibrahim (1810-1815). Karena kesehatan SultabIbrahim terganggu, pemerintahan dijalankan oleh wali Sultan, terdiri dari :
1. Sultan Syarif Ismail
2. Tengku panglima besar Syarif Hasyim
3. Tengku Mangkubuni syarif Ahmad
4. Sultan Syarif Kasim I

Sultan Ibrahim mangkat pada tahun 1814 dan dimakamkan di Kubah Kota Tinggi dan dikenal sebagai Marhum Pura Kecil. Pada waktu wali Sultan Syarif Muhammad syahbuddin dengan menepatkan wakilnya Tengku panglima Besar Syaed Thoha di Tebing Tinggi dan Tengku Endut Syaed Daud di Merbau.
Selama 2 tahun Tengku Sayed Muhammad menjadi wali Sultan pada tahun 1815 dilantiklah Sultan Islamil sebagai Sultan Siak menganti sultan Ibrahim. Sultan ini kemudian bergelar sultan Assyaidis Syarif Ismail abdul Jalil Jalaludin (1815-1864) sebgai Tengku Panglima Besar diangkatlah Sultan Syarif Hasim dan Datuk Laksmana ditempatkan di Bukit Batu (sekarang Bengkalis).
Pada masa ini terjadi penyerangan Inggirs ke Bengkalis dibawah pimpinan Wilson. Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan Belanda dan akhiranya dapat mengusir Inggris. Sebgai balas jasa atas bantuan itu diadakan perjanjian yang dikenal dengan Traktat Siak dan di tanda tanggani pada 1 februari 1858, pihak Belanda diwakili oleh Reisiden Riau J.F.N. Neuwenhuyeen dan Siak diwakili oleh Sultan Ismail dan Tengku Putra.
Isi perjanjian Traktat Siak :
1. Belanda mengakui hak otonomi Siak daerah Siak sendiri
2. Siak menyerahkan daerah jajahannya seperti Deli Serdang, Langkat, asahan, kepada Belanda.

Akibat perjanjian secara regional dan internasional memberikan efek kepda perkembangan-perkembangan di sekitar Malaka dan Indonesia umumnya. Denan diserahkan daerah kepada Belanda, maka Aceh merasa tidak senang karena aceh menganggap daerah tersebut merupakan daerahnya.persoalan ini menyebabkan timbulnya perang Aceh melawan Belanda (1873-1904). Sebaliknya Sultan Ismail pun merasa tidak senang kepada Belanda yang masih menduduki Bengkalis dan mengadakan serangan ke Bengkalis pada tahun 1893. Karenatindakan Belanda menurunkan Sultan Ismail dari tahta dan mengantikannya dengan Sultan Assyaidis Kasim Abdul Jalil Syaifuddin (1864-1889). Sultan Ismail berangkat ke Pekanbaru dan pada tahun itu juga mangkat di Pekanbaru dan diberi gelar “Murhum mangkat di Pekan”.
Sultan Kasim membangun Istana yang bahannya masih dari kayu, disampin itu di bangun pula Masjid Syah Buddin dan Makam Kota Tinggi bernama Qubbatul Qasyimiah. Selain itu dibangun jalan tempat ketempat peristirahatan di bali Kajang. Sultan mamgkat pada tahun 1889 di makamkan di Kota Tinggi yang kemudian diberi gelar “Marhum Mahkota”. Sultan Kasim ini yang pertama-tama membuat Mahkota Kerajaan Siak bertahta Intan Berlian, Mahkota tersebut pada masa Sultan Hasim diambil pemerintahan Sumatera Tengah dan diduga sekarang tersimpan dimesium Jakarta. Pada tahun 1889 TEngku Ngah Sayed Hasyim di Tabalkan menjadi Raja dengan gelar “Sultan Assyaidissyarif Hasyim Abdul Jalil Syaifudin Sri Paduka yang dipertuan besar Kesultanan Siak bersemayam di Singasana KEsultanan Siak serta jajahan takluknya. Kemudian pemerintahan Kesultanan di bagi dalam 10 Provinsi. Yang masing-masing dikepalai oleh seorang Hakim Polisi.
Sultan Kasyim ahli dalam bidang perdagangan, berkat keahliannya Siak mengalami kembali kejayaannya. Sehingga pda masa Kesultanan Kasyim ini beliau dapat merekontruksi kembali Istana yang dibanun oleh Ayahnya. Istana tersebut masih dapt kita saksikan sekarang.
Pemerintahan sultan Hasyim ini singkat sekali, beliau wafat pada tahun 1908 di Singapura. Jenazahnya dibwa ke Siak dan dikamkan di Qubbah Hasyimiah dan kemudian disebut rakyat (Marhum Baginda).
Setelah mangkatnya Sultan Hasyim, sementara menjelang Putra Mahkota dewasa sultan Hasyim II Pemerintahan dipegang oleh wali Sultan. Kemudian pada 3 maret 1915 Sultan Hasyim II dinobatkan sebgai Sultan Siak ke XII bergelar Sultan Assyidis Syarief Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Kasyim II banyak sekali pertahanan yang dilakukan beliau antara lain :
1. Dalam bidang Pemerintahan, beliau mengadakan perubahan struktur/system pemerintahan.
2. Dalam bidang Pendidikan dan Agama, beliau mendirikan sekolah-sekolah.
3. Dalam Keamanan, beliau membuka Pendidikan untuk para pemuda guna dijadikan “Volunteer” yang dijadikan pasukan kawal khusus 1939.

2.2.1. Sistem Politik, Ekonomi, social-budaya Kerajaan SIak Indrapura
Pada masa pemerintahan Kerjaan Siak, pusat pemerintahan selalu berubah. Setiap raja mengambil kebijakan masing-masing. Mulai awal masa pemerintahan Raja Siak yang pertama sampai selanjutnya. Bisa kita lihat dari sejarah Kerajaan Siak ini yang mana pada masa awalnya Pusat pmerintahan berada di Buatan oleh Raja Kerajaan Siak yang pertama yaitu Raja Kecil yang beegelar Sultan Abdul Jalil RAchmadsyah (1723 – 1746).
Setelah raja kecil mangkat beliau diganti oleh Putra Bungsu, pada masa pemerintahan Sultan ini pusat pemerintahan ke Mapura. Setelah Raja ini mangkat pusat pemerintahan di pindahkan lagi ke Senapelan.
Pada masa kesultanan Senapelan, Kerajaan Siak semakin berkembang karena pada masa kesultanan ini beliau membuka jalur perdangangan dengan dibukanya Jalan-jalan perhubungan dagangan yang menghubungkan Senapelan dengan daerah-daerah penghasil bahan-bahan dagangan. Jalan tersebut menuju ke Selaran dan Barat, sehingga banyaklah para pedagang berdatangan ke kerajaan Senapelan ini. Kemudian setalah kesultanan senapelan ini berkembang. Raja Alamuddin mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muzzamsyah ( 1780-1782 ) dan melanjutkan pemerintahan dan meneruskan usaha ayahnya. Dalam pemerintahan inilah Pekanbaru menjadi Bandar perdagangan yang ramai. Setelah 2 tahun memerintah, dultanpun mangkat. Karean Sultan ini tidak punya putra, maka pemerintah melanjutkan oleh keturunan laki-laki dari Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah yang bernaama Sultan Yahya Abdul Jalil Muzzafarsyah ( 1782-1784 ). Pada masa kesultanan ini pusat pemerintahan ke,bali dipindahkan lagi ke Mapura. Tidak lama memerintah Sultan pun mangkat dan diganti oleh Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil syaifuddin putra dari Tengku Embung Badariah dengan syaed Syarif Usman Syahbuddin, seorang Arab. Semenjak ini gelar Sultan Siak mempergunakan gelar Sayed. Pada masa kesultanan ini ( 1784-1810 ) pusat pemerintahan di pindahkan lagi ke Kota Tinggi atau Kota Siak Sri Indrapura. Sultan menghidupkan kembali nama “ Siak Sri Indrapura” pada masa kesultanan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin. Kekuasan kerajaan Siak meluas karena banyak dilakukan perluasan daerah sehingga kerajaan Siak mepunyai 12 daerah jajahan. Kemudian setelah Sultan Syarif mangkat pada tahun 1810, pemerintah dilanjutkan oleh Sultan Ibrahim ( 1810-1815). Karena kesehatan Sultan Ibrahim terganggu, pmerintahan dijalankan oleh Wali Sultan. Setelah Sultan mangkat pada tahun 1813 dan dimakamkan di Qubbah Kota Tinggi dan dikenal dengan Marhum Pura Kecil. Pada waktu ini diangkatlah wakil Sultan Syarifd Muhammd Syahbuddin dengan menempatkan wakilnya di Tebing Tinggi dan Merbau. Selama 2 tahun Tengku Syaed Muhammd mejadi wali Sultan dan pada tahun 1815 di lantiklah Sultan Ismail sebagai Sultan Siak mengantikan Sultan Ibrahim dan bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil jalaludin (1815-1864).
Pada masa terjadinya penyerangan Inggris ke bengkalis dibawah pimpinan Wilson dan Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan kepada belanda. Usaha Belanda ini berhasil, dan kemudian Belanda membuat perjanjian dengan kerajaan Siak yang dikenal dengan Traktat SIak pada tanggal 1 Februari 1858. akhirnya kerajaan SIak menyerahkan kekuasaan atas jajahannya kepada Belanda dan akhirnya Sultan Ibrahim diturunkan oleh Belanda dari kesultanannya dan diganti oleh Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1864-1889). Sultan Kasim mulai membngun Istana yang bahannya masih dari kayudan dibngun pula Masjid Syahpudin dan makam kota TInggi yang bernama Qibatul Qosyimiah, dan juga dibangun tempat peristirahatan di bali kajang. Sultan mangkat pada tahun 1889 dan dimakamkan di kota Tinggi yang digelar dangan “ Marhum Mahkota”. Sultan Kasim ini yang pertama mebuat mahkota Kerajaan Siak bertahta intan dan berlian. Kemudian dilanjutkan oleh Tengku Ngah Syaid Kasim dengan gelar Sultan Assyaidis Kasim Abdul Jalil Syaifudin Sri Paduka yang dipertuan Besar kesultanan SIak yang bersemayan disinggahsana kesultannan Siakm. Pada ,sa kesultanan ini di bagi dalam 10 propinsi, yang masing-masing dikepalai oleh seorang hakim polisi dan dibentuk pula kominsaris jajahan. Pda masa Sultan Hasyim, kerajaan Siak mengalami kejayaan karena Sultan Hasim ahli dalam bidang perdangangan. Sultan ini mengusahakan perdangan barang-barang Ekspor dan Sultan mendirikan took-toko di Singapura. Dkidalam negeriseperti Medan dan Pekanbaru dan perfangna ini tidak saja di Selat Malaka tetapi sampaike Eropa. Usahalainnya yaitumenaikan taraf hidup rakyat dengan jalan membuka jalan Usaha Home Industri bagi kaum wanita.
Kemudian Sultan juga merekontruksi istana kerajaan menjadi megah dan dapat kita saksikan sampai sekarng. Disamping Istana di bangun Balairung dengan Arsiteknya Tengku Sida-sida Indra. Balairung ini merupakan ruang kerja sulatan, aperatur pemeintah, tempat penbatan raja dan balaikerapatan tinggi. Pemerintahan Sultan Hasyim singkat sekali. Beliau mangkat pada tahun 1908 di di Singapura.
Serlah itu kesultanan diganti oleh wali karena Putra Sultan Hasyim belum dewasa. Setelah Sultan Hasyim II dewasa maka pada 3 Maret 1915 Sultan Hasyim II di nobatkan sebagai Sultan Siak ke XII bergelar Sulatan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syarifuddin. Sultan Kasyim II melanjutkan pemerintahan dan menberuskan usaha dalam bidang pemerintahan beliau megadakan perubahan struktur / system pemerintahan seperti tercantum dalam lembaran Negara Kesultanan SIak. Dalam bidang pendidiakan dan Agama, beliau mendirikan sekolah-sekolah :
1. H.I.S, pada tanggal 15 september 1915 untuk semua penduduk skesultan SIak.
2. Mendirikan sekolah agama Islam :
a. Madrasah Taufiqiah Al – Hasyimiah.
b. Madrasah An Nisa ( Khusu untuk wanita)
3. mendirikan Seokolah Latifah (Sekolah Kepandaian Wanita)
4. mendirikan Asrama pelajar (untuk anak, orang besar kerajaan dari daerah )
5. Memberikan beasiswa untuk tamatan H.I.S dan Madrasah untuk melanjutkan belajar ke luar daerah.

Dalam bidang keamanan beliau membuka pendiidikan unruk para pemuda guna “Volunteer” yang dijadikan pasukan kawal khusus 1939. disamping memiliki oppasar sendiri yang ditempatkan di kantor-kantor dan Istana.( )

2.2.2 Kerajaan Riau - Lingga
2.2.2.1. Sejarah
Kesultanan Riau-Lingga merupakan kerajaan Islam yang berdiri di Kepulauan Riau, Indonesia pada paruh pertama abad ke-19. Secara historis, kemunculan kesultanan ini bisa dirunut dari sejarah Kesultanan Malaka dan Johor. Ketika Kesultanan Malaka berdiri pada abad ke-15 M, Riau-Lingga merupakan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Malaka. Di saat Malaka runtuh karena serangan kolonialis Portugis, muncul kemudian Kerajaan Riau-Johor yang menggantikan posisi Malaka sebagai representasi kekuatan politik puak Melayu di kawasan tersebut. Ketika itu, Riau-Lingga termasuk wilayah yang berada dalam kekuasaan Riau-Johor.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Riau-Johor pun melemah akibat faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang paling berpengaruh adalah konspirasi jahat kolonial Inggris dan Belanda yang terangkum dalam Traktat London yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824. Isi traktat membagi wilayah kerajaan Melayu menjadi dua pemilik: Inggris dan Belanda. Semenanjung Malaya dan Singapura menjadi milik Inggris, sedangkan Sumatera dan Jawa menjadi milik Belanda. Akibat dari penerapan isi perjanjian tersebut adalah terpecahnya kerajaan Melayu menjadi dua: Johor di Malaysia dan Riau-Lingga di Kepulauan Riau. Sejak tahun 1824 itu, Riau-Lingga resmi berdiri dan menjadi kerajaan yang terpisah dari Johor. Sultan pertama yang menduduki tahta di Riau Lingga adalah Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah.
Kisah berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari peranan Belanda dan Inggris yang ikut campur dalam konflik internal keluarga Kerajaan Riau-Johor. Saat itu tahun 1811, Sultan Johor, Mahmud Syah III wafat, dan putera tertuanya, Husin sedang tidak berada di Johor.
Akhirnya, kemudian naik Abdul Rahman Muazzam Syah, adik tiri Hussin sebagai sultan dengan dukungan Belanda, dan sempat berkuasa selama hampir tujuh tahun, yakni hingga tahun 1819. Husin sangat kecewa dengan pelantikan itu. Potensi konflik ini kemudian diketahui oleh Inggris dan langsung memanfaatkan situasi dengan mendekati Husin. Atas dukungan Inggris, Husin akhirnya berhasil menjadi sultan dengan imbalan pemberian konsesi atas Singapura kepada Inggris, sedangkan Abdul Rahman menjadi raja di Riau-Lingga atas ‘jasa baik‘ Belanda.
Sebagai balas budi atas ‘kebaikan‘ Belanda, Sultan Abdul Rahman kemudian melakukan perjanjian dengan Belanda, yang intinya mengakui Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Riau-Lingga. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sebenarnya Abdul Rahman telah menggadaikan Riau-Lingga kepada Belanda demi kekuasaan yang ia pegang. Sebagai kompensasi, Belanda kemudian melindungi sultan dan keluarganya. Untuk mewakili pemerintah Belanda, kemudian didirikan kantor residen di Tanjungpinang. Dari sinilah, seluruh aktifitas Kerajaan Riau-Lingga dikontrol oleh Belanda. Setiap pergantian sultan harus diawali dengan sumpah setia kepada Belanda.
Dalam menjalankan pemerintahan, Sultan Abdul Rahman juga harus bekerjasama dengan Yang Dipertuan Muda yang berkedudukan di Pulau Penyengat, dan Residen Belanda yang berkedudukan di Tanjungpinang. Yang Dipertuan Muda yang berkedudukan di Pulau Penyengat merupakan jabatan yang menjadi hak prerogatif para bangsawan keturunan Bugis.
Pada tahun 1832, Sultan Abdul Rahman meninggal dunia, ia kemudian digantikan oleh Sultan Muhammad II Muazzam Syah. Namun, karena terlalu sering berada di Trengganu, akhirnya ia diturunkan dari jabatannya pada tahun 1835, dan digantikan oleh Sultan Mahmud IV Muzaffar Syah yang berkuasa hingga 1857. Sultan Mahmud memerintah tidak terlalu lama, ia diturunkan oleh Belanda disaat ia sedang berada di Singapura. Sebagai gantinya, Belanda melantik pamannya dengan gelar, Sultan Sulaiman II Badrul Alam Syah. Sultan ini memerintah hingga tahun 1883, dan kemudian digantikan oleh Sultan Abdul Rahman II Muazzam Syah pada tahun 1885. Sultan Abdul Rahman kemudian berselisih dengan Belanda karena ia tidak mau tunduk dan diatur secara semena-mena. Salah satu kebijakan sultan yang membawa konflik dengan Belanda adalah penyatuan jabatan Yang Dipertuan Muda dibawah raja, padahal selama ini, jabatan Yang Dipertuan Muda selalu menjadi hak kaum bangsawan Bugis. Sultan ini juga mengambil jalan yang berbeda dengan kakeknya yang bekerjasama dengan Belanda. Ia kemudian lebih memilih meninggalkan Penyengat yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Riau-Lingga, dan hijrah ke Singapura daripada tunduk dan diatur Belanda. Akhirnya, pada 3 Februari 1911, Kerajaan Riau Lingga dihapuskan secara in absentia oleh Belanda, unutk selanjutnya langsung berada di bawah pemerintah Belanda.

2.2.2.2 Silsilah
Berikut ini nama-nama para sultan yang pernah berkuasa di Riau Lingga:
a. Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah (1818-1832)
b. Sultan Muhammad II Muadzam Syah (1832-1835)
c. Sultan Mahmud IV Mudzafar Syah (1835-1857)
d. Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah (1857-1883)
e. Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah (1883-1930)

2.2.2.3. Periode Pemerintahan
Rentang masa berdirinya Kerajaan Riau-Lingga relatif pendek, hanya satu abad. Didirikan karena peran kolonial Belanda, kemudian runtuh karena dibubarkan oleh Belanda juga. Selama rentang masa satu abad tersebut, telah berkuasa lima orang sultan. Masing-masing sultan memiliki pola relasi yang relatif berbeda dengan kolonial Belanda. Di antara mereka ada yang memilih jalan kompromi, dan ada juga yang lebih memilih jalan konflik demi mempertahankan harga diri sebagai orang Melayu.

2.2.2.4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kerajaan Riau-Lingga mencakup kawasan yang cukup luas, di antaranya Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Pusat kerajaan pada awalnya di Daik, kemudian menjelang akhir keruntuhan kerajaan pindah ke Pulau Penyengat. Ada dua pusat kendali pemerintahan, pertama di istana Yang Dipertuan Besar (sultan), dan kedua di istana Yang Dipertuan Muda. Istana Yang Dipertuan Muda berada di Kota Piring, sehingga dikenal juga dengan nama Istana Kota Piring (terletak di Pulau Biram Dewa [Malim Dewa] Bintan). Sedangkan istana Yang Dipertuan Besar berada di Daik-Lingga, kemudian pindah ke Pulau Penyengat pada tahun 1900. Kedudukan istana di Kota Piring yang masih berfungsi di masa Kerajaan Riau-Lingga sebenarnya masih dalam perdebatan, sebab ada yang mengatakan bahwa istana ini telah hancur pada tahun 1784, seperempat abad sebelum Riau-Lingga berdiri. Namun, sumber lain ada juga yng mengatakan bahwa istana ini masih berdiri hingga 1884. Artinya, istana ini masih berfungsi pada masa Riau-Lingga.

2.2.2.5. Struktur Pemerintahan
Struktur tertinggi dalam Kerajaan Riau-Lingga berada di tangan sultan (Yang Dipertuan Besar). Namun dalam praktiknya, sebenarnya yang memegang kekuasaan tertinggi adalah penjajah Belanda. Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan harus bekerjasama dengan Yang Dipertuan Muda yang berkedudukan di Pulau Penyengat, dan juga dengan Residen Belanda yang berkedudukan di Tanjungpinang. Setiap keputusan sultan dan Yang Dipertuan Muda harus mendapat persetujuan Residen Belanda di Tanjungpinang. Sisi lain yang menunjukkan kuatnya pengaruh Belanda adalah kewajiban setiap sultan yang baru untuk mengucapkan sumpah setia kepada Belanda ketika ia dilantik. Dari sini, bisa dilihat bahwa, sebenarnya yang berkuasa adalah Belanda, bukan sultan.
Dalam menjalankan pemerintahan, sultan juga dibantu oleh para penasehat, juru tulis, kadli, syahbandar dan beberapa pembantu lainnya. Dalam kehidupan keagamaan, muncul beberapa orang ulama terkenal dari Riau-Lingga, di antaranya Haji Ja‘far bin Encik Abu Bakar. Ia belajar agama di Mekkah dan seangkatan dengan K.H. Hasyim Asyari, ulama dari Jawa yang mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama. Menurut catatan dari sebuah sumber, ada yang menyebutkan bahwa Haji Ja‘far pernah menjabat sebagai sekretaris Rusydiah Club.

2.2.2.6. Kehidupan Sosial-budaya
Di antara kesultanan melayu yang pernah berdiri di kawasan Riau, mungkin Kesultanan Riau-Lingga yang menyumbangkan peran terbesar pada perkembangan bahasa Melayu, terutama sebagai bahasa tulis. Peran tersebut sangat tampak pada periode paruh kedua abad ke-19, di saat kesultanan ini sedang mencapai masa kejayaannya. Ketika itu, kehidupan intelektual berkembang pesat. Hal ini didukung oleh perkembangan perdagangan yang begitu semarak, sehingga pemasukan dari sektor ini mampu menggerakkan sektor lainnya. Relasi dagang saat itu terjalin erat dengan India, Cina, Siam, Jawa dan Bugis.
Tokoh intelektual yang paling dikenal dari era Riau-Lingga ini adalah Raja Ali Haji (1809-1873), seorang pujangga, ahli sejarah dan ahli agama yang bermastautin di Pulau Penyengat. Karya-karya yang ia tinggalkan mencakup tema yang luas dan masih bisa dibaca hingga saat ini. Tema-tema itu mencakup sastra, keagamaan, filsafat, pemerintahan, bahasa dan sejarah. Di antara beberapa karya Raja Ali Haji adalah: Syair Siti Shianah, Syair Awai, Gurindam Dua Belas, Tuhfat al-Nafis, Kitab Pengetahuan Bahasa, Bustan al-Katibin, Silsilah Melayu dan Bugis, dan banyak buku lainnya. Bustan al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa merupakan buku pelopor yang menjelaskan secara ilmiah tata bahasa Melayu.
Salah satu karakter peradaban yang dipengaruhi ajaran Islam adalah menyebarnya kemampuan dan tradisi tulis baca pada semua kalangan, bukan hanya di kalangan kerajaan. Ciri ini juga bisa ditemukan di Riau-Lingga. Saat itu, selain kaum bangsawan istana, rakyat jelata juga banyak yang menjadi penulis. Sebagai contoh, seorang nelayan yang bernama Encik Abdullah mengarang sebuah buku tentang perkawinan penduduk di Pulau Penyengat. Pengarang lainnya, yaitu Khatijah Terung juga banyak menulis buku. Di antara salah satu karyanya adalah sebuah buku yang membahas tentang hubungan seksual suami istri, yang berjudul Kumpulan Gunawan. Maraknya perkembangan dunia tulis menulis di Riau-Lingga juga didukung oleh tersedianya sarana pendukung seperti percetakan dan kelompok diskusi. Percetakan dan penerbitan yang didirikan saat itu adalah Mathbaah al-Riauwiyah yang beroperasi sejak sekitar tahun 1890, sedangkan kelompok diskusi yang paling terkenal adalah Rusydiah Club yang banyak melahirkan intelektual Melayu.
Kehidupan tulis menulis semakin marak di Riau-Lingga, khususnya di Pulau Penyengat seiring dengan pindahnya Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ke pulau tersebut pada tahun 1900. Sebelas tahun kemudian (1911), keadaan berubah. Sultan konflik dengan Belanda dan tidak mau menandatangani kontrak ketundukan pada Belanda. Akhirnya, sultan yang diikuti juga oleh para bangsawan istana dan pengarang pindah ke Singapura. Seiring dengan itu, kehidupan intelektual di Pulau Penyengat juga semakin mundur dan pudar. Demikianlah, akhirnya Kerajaan Riau-Lingga lenyap ditelan sejarah. ( )

2.2.3 Kerajaan Indragiri
Kerajaan Indragiri diperkirakan berdiri tahun 1298 dengan raja pertama bergelar Raja Merlang I berkedudukan di Malaka. Demikian pula dengan penggantinya Raja Narasinga I dan Raja Merlang II, tetap berkedudukan di Malaka. Sedangkan untuk urusan sehari-hari dilaksanakan oleh Datuk Patih atau Perdana Menteri. pada tahun 1473, waktu Raja Narasinga II yang bergelar Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alam ( Sultan Indragiri IV ), beliau menetap di ibu kota kerajaan yang berlokasi di Pekan Tua sekarang.
Pada tahun 1815, dibawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Rengat. dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim ini, Belanda mulai campur tangan terhadap kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah ke Hilir sampai dengan batas Japura.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Isa, berdatanganlah orang - orang dari suku Banjar dan suku Bugis sebagai akibat kurang amannya daerah asal mereka. Khusus untuk suku Banjar, perpindahannya akibat dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Gubernement pada tahun 1859 sehingga terjadi peperangan sampai tahun 1963.

2.2.3.1 Masa Penjajahan Belanda
Dengan adanya tractaat Van Vrindchaap ( perjanjian perdamaian dan persahabatan ) tanggal 27 September 1938 antara Kerajaan Indragiri dengan Belanda, maka Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur. berdasarkan ketentuan tersebut, di wilayah Indragiri Hilir ditempatkan seorang Controlleur yang membawahi 6 daerah keamiran :

a. Amir Tembilahan di Tembilahan.
b. Amir Batang Tuaka di Sungai Luar.
c. Amir Tempuling di Sungai Salak.
d. Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah.
e. Amir Enok di Enok.
f. Amir Reteh di Kotabaru

Controlleur memegang wewenang semua jawatan, bahkan juga menjadi hakim di pengadilan wilayah ini sehingga Zelfbestuur Kerajaan Indragiri terus dipersempit sampai dengan masuknya Jepang tahun 1942.


2.2.3.2 Masa Pendudukan Jepang
Balatentara Jepang memasuki Indragiri Hilir pada tanggal 31 Maret 1942 melalui Singapura terus ke Rengat. Tanggal 2 April 1942 Jepang menerima penyerahan tanpa syarat dari pihak Belanda yang waktu itu dibawah Controlleur K. Ehling . Sebelum tentara Jepang mendarat untuk pertama kalinya di daerah ini dikumandangkan lagu Indonesia Raya yang dipelopori oleh Ibnu Abbas.
Pada masa pendudukan Jepang ini Indragiri Hilir dikepalai oleh seorang Cun Cho yang berkedudukan di Tembilahan dengan membawahi 5 Ku Cho, yaitu :
a. Ku Cho Tembilahan dan Tempuling di Tembilahan.
b. Ku Cho Sungai Luar.
c. Ku Cho Enok.
d. Ku Cho Reteh.
e. Ku Cho Mandah.
Pemerintahan Jepang di Indragiri Hilir sampai bulan Oktober 1945 selama lebih kurang 3,5 tahun.

2.2.3.3. Periode Setelah Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pada awal Kemerdekaan RI, Indragiri (Hulu dan Hilir) masih merupakan satu kabupaten. Kabupaten Indragiri ini terdiri atas 3 kewedanaan, yaitu Kewedanaan Kuantan Singingi dengan ibukotanya Taluk Kuantan, Kewedanaan Indragiri Hulu dengan ibukotanya Rengat dan Kewedanaan Indragiri Hilir dengan
Ibukotanya,,,,,Tembilahan.
Kewedanaan Indragiri Hilir membawahi 6 wilayah yaitu :
a. Wilayah Tempuling/Tembilahan.
b. Wilayah Enok.
c. Wilayah Gaung Anak Serka.
d. Wilayah Mandah/Kateman.
e. Wilayah Kuala Indragiri.
f. Wilayah Reteh

Perkembangan tata pemerintahan selanjutnya, menjadikan Indragiri Hilir dipecah menjadi dua kewedanaan masing-masing :
a. Kewedanaan Indragiri Hilir Utara meliputi kecamatan :
• Kecamatan Tempuling.
• Kecamatan Tembilahan.
• Kecamatan Gaung Anak Serka.
• Kecamatan Mandah.
• Kecamatan Kateman.
• Kecamatan Kuala Indragiri dengan ibukotanya Tembilahan.

b. Kewedanaan Indragiri Hilir Selatan meliputi kecamatan :
• Kecamatan Enok.
• Kecamatan Reteh dengan ibukotanya Enok.

2.2.3.4. Pemekaran Kabupaten Indragiri Hilir
Merasa persyaratan administrasinya terpenuhi maka masyarakat Indragiri Hilir memohon kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Riau, agar Indragiri Hilir dimekarkan menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II yang berdiri sendiri (otonom).
Setelah melalui penelitian, baik oleh Gubernur maupun Departemen Dalam Negeri, maka pemekaran diawali dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau (Propinsi Riau) tanggal 27 April 1965 nomor 052/5/1965 sebagai Daerah Persiapan Kabupaten Indragiri Hilir.
Pada tanggal 14 Juni 1965 dikeluarkanlah Undang-undang nomor 6 tahun 1965 Lembaran Negara Republik Indonesia no. 49, maka Daerah Persiapan Kabupaten Indragiri Hilir resmi dimekarkan menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Indragiri Hilir (sekarang Kabupaten Indragiri Hilir) yang berdiri sendiri, yang pelaksanaannya terhitung tanggal 20 November 1965. ( )

2.2.4 Sejarah Kerajaan Pelalawan
Maharja Wangsa Jaya mangkat dan pemerintahan dipegang oleh adiknya dengan gelar Maharahja Muda Lela ( 1691-1720 ), namun pemerintahan tidak begitu lama, beliau digantikan oleh puteranya Maharaa Dinda ( 1720-1750 ). Pada masa ini mulai dikenal dengan negeri Pelalawan. Negeri Pelalawan yang muncul didirikan oleh Abdurrachman Datuk Maharaja Dinda dan Panglimanya Datuk Sinda.
Maharaja Dinda II membangun kerajaan Pelalawan diperkirakan pada taahun 1725, pada awalnya negeri ini dipusatkan di sungai Rasau, sekarang disebut Kampung Dalam Sungai. Kerajaan Pelalawan muncul sebgai pengganti kerajaan Kampar.
Maharaja Dinda II memutuskan segala hubungannya dengan Kemaharajaan Melayu Johor, Johor pada waktu itu dikuasai oleh Datuk Bendahara Tun Habib dan bergelar Sultan Abdul Jalil, kehendak Kemaharajaan Dinda II untuk memisahkan diri dari bergelar kekuasaan Kemaharajaan Melayu Johor tidak mendapat perhatian serius dari Sultan Abdul Jalil, sehingga Pelalawan menjadi sebiah kerajaan yang berdiri sendiri, tanpa ikatan politik dengan Kemeharajaan Melayu Johor.
Sepeninggalan Sultan Muhmud Syah II yang menjadi Sultan adalah keturunan Bendaharan Sri Maharaja Tun Habib Abdul Jalil Syah yang telah memangku jabatan Bendahara Kesultan Melayu zuriat-zuriat sultan-sultan Kesultanan Melayu Melaka dan naiknya Dinasti Bendahara menjadi Sultan.
2.2.4.1 Asal usul nama Pelalawan
Penyebutan asal usul atau istilah Pelalwan terdapat dari berbagai sumber, dikemukakan oleh H. Kern. Prof. Purbatjaraja, Prof. M.Yamin, tentang nama-nama kerajaan / raja berdasarkan dari nama flora dan fauna, serta sungai dan lain-lain.
Penamaan Pelalawan dari kata “ Lalau “, yaitu tempat yang dilakukan di sungai Rasau. Karena pada waktu pemerintahan Maharaja Lela Utama ditemukan dia tempat untuk pusat pemerintahan, yaitu di Sungai Rasau dan Sungai Nilo. Yang dipilih adalah tempat di Sungai Nilo dan tempat sungai Rasau di “ Lalau “ kan saja.
Pendapat lain menyebabkan bahwa Pelalawan beral dai nama dua sungai RAsau itu terletak berhadapan, sehingga seolah-olah menunjukkan nerlawanan dua mulut sungai. Sungai tersebut terletak dikawasan Ujung Pantai dai lokasi Istana Tuanku Tengku Besar Pahlawan pada abad ke – 19, lalu diberikan julukan “ Pulau Lawan”. Pelalawan itu diartikan adalah tempat bepergian. Ditinjau lagi logat Bugis ada kata kerja “ Lawei “ yang berarti “Cegah”. Jadi pelalawan adalah tempat lalu lintas barang dan penumpang serta kepentingan lainnya.(

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Pendiri kerajaan Siak adalah Raja Kecil dengan gelar Sultan Jalil Rachmad
b. Setelah Raja Kecil wafat dengan gelar Marhum Buatan dan diganti oleh Sultan abdul Jalil Muzaffarsyah.
c. Dalam mempertahan kekuasaan Sultan mengangkat saudaranya menjadi Sultan di daerah yang ditaklukkannya.
d. Pada tahun 1813 akhirnya Sultan Ibrahim mengangkat dan beliau dimakamkan di Qubbah kota Tinggi dan dikenal dengan Marhum Pura Kecil.
e. Pada tahun 1815 akhirnya dilantiklah Sultan Ismail sebgai Sultan Siak menganti Sultan Ibrahim
f. Kerajaan Riau Lingga Kesultanan Riau-Lingga merupakan kerajaan Islam yang berdiri di Kepulauan Riau, Indonesia pada paruh pertama abad ke-19. Secara historis, kemunculan kesultanan ini bisa dirunut dari sejarah Kesultanan Malaka dan Johor.

3.2 Saran
Demikianlah tulisan yang kami buat, jika terdapat kesalahan, kesilapan dan kekurangnan kami berharap kepada dosen pembimbing dan mahasiswa yang membacanya memberikan kritk dan sarannya yang bersifat membangun, sebagaimana pepatah orang tua “Tiada gading yang tak retak”.

Disamping itu juga, Raja Ali Haji dalam Bustan Al Katibin beliau mengatakan bahwa :
Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam
Adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh buat pedang,
Maka itulah ibararat yang terlebih nyatanya. Dan berapa
Ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan
Segores kalam jadi tersarung

DAFTAR KEPUSTAKAAN

IKHTISAR Sejarah Indonesia III. FKIP UNRI
Cahidir. 2006. Membaca Ombak.Pekanbaru : Adicita
Yusuf Ahmad, dkk. 1995. Sejarah Kerajaan Pelalawan. Pekanbaru
Tamin, Wan saleh. 2002. Sejarah Hancurnya Singgasana Melayu I dan
Timbulnya Singgsana Melayu II. Pekanbaru

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Harus di revisi ulang tuh tentang kerajaan Riau lingga,banyak kisah yang memutar balikkan fakta, cari sumber yang tepat, salah satunya terjun kelapangan

Unknown mengatakan...

Harus di revisi ulang tuh tentang kerajaan Riau lingga,banyak kisah yang memutar balikkan fakta, cari sumber yang tepat, salah satunya terjun kelapangan

Riska Ananda mengatakan...

Luar baisa Jilbab Segi Empat Terbaru dan Grosir Jilbab Murah serta Agar Online Shop Ramai Pembeli dan Cara Pasang Iklan di Tokopedia juga Cara Mengatasi Online Shop Sepi Pembeli kemudian ada juga Cara Meningkatkan Penjualan di Lazada dan Cara Mengatasi Jualan di Tokopedia Sepi

Posting Komentar