EFEKTIFITAS KEGITAN BELAJAR
MENGAJAR
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentuk
pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya
pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut,
pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sisitem
pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas
dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan juga berarti bimbingan atau pertolongan
yangh diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar anak menjadi dewasa (
Hasbullah : 1999.1 ). Menurut Langeveld dalam Hasbullah, pendidikan adalah
setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan orang dewasa
kepada anak untuk pendewasaan anak itu (Hasbullah : 1999.2). Dalam konteks
Islam pendidikan berarti bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani
menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh,
dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam (Arifin : 1987. 13 – 14).
1 Reformasi
pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu
upaya untuk mengadaptasikan system pendidikan yang mampu mengembangkan sumber
daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui
reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan
jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh
potensi danprestasinya secara optimal guna kesejahtraan hidup dimasa depan.
Pendidikan pada masa dasarnya merupakan suatu
usaha pengembangan sumber daya manusia ( SDM ), walaupun usaha pengembangan SDM
tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal (sekolah).
Tetapi sampai detik ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan wahana
utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan
berjenjang.
Kemajuan pendidikan dapat dilihat dari kemampuan
dan kemauan dari masyarakat untuk menangkap proses informatisasi dan kemajuan
teknologi. Karena proses informtisasi yang cepat karena kemajuan teknologi
semakin membuat horizon kehidupan diduniasemakin meluas dan sekaligus semakin
mengerut. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah
global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian di belahan
bumi yang lain, baik masalah politik, ekonomi, maupun sosial.
Sejalan dengan hal diatas, Tilaar menyatakan bahwa
:
“Kesetiakawanan
sosial umat manusia semakin kental, hal ini berarti kepedulian umat manusia
terhadap sesamanya semakin merupakan tugas setiap manusia, pemerintah, dan
sistem pendidikan nasional. Selanjunya dikatan pula bahwa pendidikan bertugas
untuk mengembangkan kesadaran akan tanggung jawab setiap warga Negara
terhadapan kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakat dan
Negara, juga umat manusia” (H.A.R Tilaar, 2004 : 4)
Berdasarkan pernyataan diatas, bahwa manusia tidak
dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain : setiap manusia akan selalu
membutuhkan dan berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai segi kehidupan.
Kesetiakawanan sosial yang merupakan bagian dari proses pendidikan dan
pembelajaran mempunyai peranan yang sangat kuat bagi individu untuk
berkomunikasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan hidupnya.
Dalam proses pelaksanaannya dilapangan,
kesetiakawanan sosial diwujudkan melalui interaksi antarmanusia, baik individu
dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
Interaksi antarmanusia dapat terjadi dalam
berbagai segi kehidupan dibelahan bumi, baik dibidang pendidikan, ekonomi,
sosial, politik budaya, dan sebagainya. Interaksi di bidang pendidikan dapat
diwujudkan melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa
dengan masyarakat, guru dengan guru, guru dengan masyarakat sekitar
lingkungannya.
Apabila dicermati proses interaksi siswa dapat
dibina dan merupakan bagian dari proses pembelajaran, seperti yang dikemukakan
oleh Corey (1986) dalam Syaiful Sagala ( 2003 :61 ) dikatakan bahwa :
“pertama,
dalam proses pembelajaran melibatkan proses berfikir. Kedua, dalam proses
pembelajaran membangun suuasana dialogis dan proses Tanya jawab terus menerus
yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa,
yang pada gilirannya kemampuan berfikir itu dapat membantu siswa untuk untuk
memproleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.” (Syaiful Sagala, 2003 :
63)
Dari uraian diatas, proses pembelajaran yang baik
dapat dilakukan oleh siswa baik didalam maupun diluar kelas, dan dengan
karakteristik yang dimiliki oleh siswa diharapkan mereka mampu berinteraksi dan
bersosialisasi dengan teman-temannya secara baik dan bijak.
Dengan intensitas yang tinggi serta kontinuitas
belajar secara berkesinambungan diharapkan proses interaksi sosial sesame teman
dapat tercipta dengan baik dan pada gilirannya mereka saling menghargai dan
menghormati satu sama lain walaupun dalam perjalanannya mereka saling berbeda
pendapat yang pada akhirnya mereka saling menumbuhkan sikap demokratis antar
sesama.
Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari
atau tidak telah mengalami suatu pergeseran dari behavorisme ke kontruktivisme
yang menuntut guru di lapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk
dapat melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas.
Guru dituntut lebih kreatif, inovatif tidak merasa sebagai teacher center,
menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek
belajar pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan,
bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada
akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Sejalan
dengan pendapat diatas, pembelajaran menurut pandangan kontruktivisme adalah :
“Pembelajaran
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas ( sempit ) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran
bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pembelajaran itu dan membentuk makna melalui
pengalaman nyata. ( Depdiknas, 2003 : 11 )
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam
pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa ( Student Center ). Guru dituntut untuk
menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa bekerja sama secara
gotong royong ( cooperative learning )
· Untuk menciptakan situasi yang diharapkan pada pernyataan diatas seorang guru harus mempunyai
syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan membangun pembelajaran
siswa agar efektif dikelas, saling bekerjasama dalam belajar sehingga tercipta
suasana yang menyenangkan dan saling menghargai ( demokratis ), diantaranya
guru harus lebih banyak mengunakan metode pada waktu mengajar, variasi metode
mengakibatkan penyajian bahan lenih menarik perhatian siswa, mudah diterima
siswa, sehingga kelas menjadi hidup, metode pembelajaran yang selalu sama (
menonton ) akan membosan siswa.
· Menumbuh motivasi, hal ini sangat berperan pada kemajuan, perkembangan
siswa, selanjutnya melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan
mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan belajar, dengan tujuan yang jelas
maka siswa akan belajar lebih tekun, giat dan lebih bersemangat (Slamet, 1987 :
92 )
Kita yakin pada saat ini banyak guru yang telah
melaksanakan teori kontruktivisme dalam
pembelajaran dikelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan
dilapangan kita masih banyak menjumpai guru yang dalam mengajar masih terkesan
hanya melaksanakan kewajiban. Ia tidak memerlukan strategi, metode dalam mengajar,
bagianya yang penting bagaiman sebuah peristiwa pembelajaran dapat berlangsung.
Disisi lain menurut Hartono Kasmadi (1993 : 24)
bahwa pelaksanaankegiatan belajar mengajar dimana pengajar masih memegang peran
yang sangat dominan, pengajar banyak ceramah ( telling method ) dan kurang membantu pengembangan aktifitas murid.
Dari uraian diatas, tidak dipungkiri bahwa dilapangan masih banyak guru yang
melakukan cara seperti pendapat diatas, dan diakaui bahwa banyaknya factor
penyebabnya sehingga kita akan melihat akibat yang timbul pada peserta didik,
kita akan sering menjumpai siswa belajar hanya untuk memenuhi kewajiban pula,
masuk kelas tanpa persiapan, siswa merasa terkekang, membenci guru karena tidak
suka gaya mengajarnya, bolos, tidak mengerja tugas yang diberikan guru, takut
berhadapan dengan mata pelajaran tertantu,merasa tersisih karena tidak dihargai
pendapatnya, hak meraka merasa dipenjara, terkekang sehingga berdampak pada
hilangnya motivasi belajar, suasana belajar menjadi menonton, dan akhirnya
kualitas pun menjadi pertanyaan.
Dari permasalahan yang ada, sekolah dalam hal ini
kepala sekolah, guru, dan stakeloders mempunyai tanggung jawab terhadap
peningkatan mutu pembelajaran disekolah terutama guru sebagai ujung tombak
dilapangan (di kelas) karena bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses
pembelajaran.
Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
sangat berat terhadap kemajuan dan peningkatan kompetensi siswa, dimana
hasilnya akan terlihat dari jumlah siswa yang lulus dan tidak lulus. Dengan
demikian tanggung jawab peningkatan mutu pendidikan disekolah, selalu
dibebankan kepada guru. Lalu bagaimana kesiapan unsur-unsur tersebut dalam
peningkatan mutu proses pembelajaran.
Secara umum untuk peningkatan mutu pendidikan
harus diawali dengan strategi peningkatan pemerataan pendidikan, dimana unsur
makro dan mikro pendidikan ikut terlibat , untuk menciptakan (Equality dan Equity), mengutip pendapat
Indra Djati Sidi (2001 : 73) bahwa pemerataan pendidikan harus mengambil
langkah sebagai berikut :
1. Pemerintah menanggung biaya pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah
baik negeri maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa.
2. Optimalisasi sumber daya pendidikan yang sudah tersedia. Antara lain
melalui double shift ( contoh pemberdayaan SMP terbuka dan kelas jauh ).
3. Memberdayakan sekolah0sekolah swasta melalui bantuan dan subsidi dalam
rangka peningkatan mutu pembelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang
tersedia.
4. Melanjutkan pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) dan Ruang Kelas Baru
(RKB) bagi daerah-daerah yang membutuhkan dengan memperhatikan peta pendidikan
ditiap-tiap daerah sehingga tidak menggangu keberadaan sekolah swasta.
5. Memberi perhatian khusus bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin,
masyarakat terpencil, masyarakat terisolasi, dan daerah kumuh.
6. Meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dan pemerintah daerah untuk
ikut serta menangani penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Sedangkan peningkatan mutu sekolah secara umum
dapat diambil satu strategi dengan membangun Akuntabilitas pendidikan dengan
pola kepemimpinan, seperti kepemimpinan sekolah kaizen (Sudarwan Danim, 2007 : 225) yang menyarankan :
1. Untuk memperkuat tim-tim sebagai bahan pembangunan yang fundamental dalam
struktur perusahaan.
2. Menggabungkan aspek-aspek positif individual dengan berbagai manfaat dari
konsumen.
3. Berfokus pada detaiol dalam mengimplementasikan gambaran besar tentang
perusahaan.
4. Menerima tanggung jawab pribadi untuk selalu mengidentifikasikan akar
penyebab masalah.
5. Membangun hubungan antarpribadi yang kuat.
6. Menjaga agar pemikiran tetap terbuka terhadap kritik dan nasihat yang
konstruktif.
7. Memelihara sikap yang progresif dan berpandangan kemasa depan.
8. Bangga dan menghargai prestasi kerja.
9. Bersedia menerima tanggung jawab dan mengikuti pelatihan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, (1987), Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta, Bina Aksara
Depdiknas, 2003
Djari
Sidi, 2001
Hasbullah,
(1999), Dasar Ilmu Pendidikan,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. HAR. Tilar, 2004
Hartono
Kasmadi, (1993)
Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta (2005)
Moh.
Sarya (1997), Psikologi Pembelajaran dan
Pengajaran, Bandung Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, IKIP, Bandung
Slameto
(1987)
Sudarman
Danim (2007)
Suharsimi
Arikonto, (1996), Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta
Syaiful
Sagala, (2003), Manajemen Strategi dalam
Meningkatkan Mutu Pendidikan, Bandung : Alfabeta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar