BLOG ORANG GANTENG

Minggu, 24 Oktober 2010

RASIONAL DAN TRADISIONAL DALAM PEMIKIRAN KALAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang

Berbicara sejarah ilmu kalam, Adapun penamaan ilmu kalam itu sendiri menurut para ulama Kalam dikarenakan beberapa hal, yaitu pertama, masalah-masalah yang diperselisihkan adalah masalah Kalam Allah (al-Quran), apakah dia makhluk diciptakan, atau qadim, bukan diciptakan.

Ilmu kalam merupakan sebuah bentuk rasionalisasi aqidah Islam sekaligus upaya pencarian dan perumusan argumen-argumen rasionalnya. Ilmu kalam lahir sebagai jawaban dan tantangan terhadap sistem aqidah di luar Islam yang menggunakan metode rasional filosofis, baik secara langsung ataupun tidak, bermaksud menjatuhkan rasionaltitas aqidah Islam.

Dengan demikian, ilmu kalam pada masa itu masih merupakan pengetahuan murni, bukan pengetahuan praktis. Karena itu Al-Ghazali mengkritik kerja para ahli kalam (mutakalimin) sebagai kegiatan yang tidak bermanfaat bagi peningkatan keimanan umat Islam pada umumnya.

Pemikiran Kalam hanya memenuhi hasrat intelek bagi kelompok tertentu dan terbatas. Sementara umat Islam pada umumnya tidak bisa menarik manfaat dari hasil kerja mereka. Lain halnya dengan pemikiran-pemikiran atau pemikiran Ijitihad para fuqaha yang berhubungan langsung dengan persoalan-persoalan kehidupan umat Islam sehari-hari, baik dalam bidang kehidupan keagamaan maupun dalam kehidupan sosial lainnya.

Kerangka berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu:
Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam al-Quran dan Hadits Nabi, yaitu ayat yang naqli. Dengan adanya dogma tersebut membuat para pemikir rasional menjadikan pokok ajaran utama karena sudah tertulis.

Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal. Sedangkan kerangka berpikir tradisional mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:

Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzanni. Dengan adanya teks agama tersebut membuat suatu pemahaman menjadi tidak pasti, hasil pemikiran menjadi dzanni, tidak mutlak tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat jelas.

BAB II

PEMBAHASAN

RASIONAL DAN TRADISIONAL DALAM PEMIKIRAN KALAM

1. Rasional Dalam Pemikiran Kalam

Kerangka berpikir ilmu kalam secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerangka berpikir rasional dan kerangka berpikir tradisional.

Kerangka berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu:

a) Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam al-Quran dan Hadits Nabi, yaitu ayat yang naqli

b) Dengan adanya dogma tersebut membuat para pemikir rasional menjadikan pokok ajaran utama karena sudah tertulis.

c) Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

d) Fokus dalam prinsip berpikir rasional adalah lebih dominannya peran akal sehingga harus lebih ekstra keras berupaya untuk memahamkan suatu ajaran atau konsep kepada orang lain. [1]

Jadi Dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan pemikiran ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yang lebih bersifat spekulatif dan melampaui batas-batas kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa.

Merujuk sejarah pemikiran klasik, corak teologi dalam Islam dua yaitu teologi rasional dan tradisional. [2]

Teologi rasional dikenal dengan aliran Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkan Sedangkan teologi tradisional dikenal dengan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara. [3]

2. Ciri Teologi Rasional

Ada tiga barometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak mutlak tuhan. Ciri teologi rasional adalah:

a) Akal mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, karenanya dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti majazi,

b) Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal kuat, manusia mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan dan kehendak serta mampu berpikir secara mendalam,

c) Keadilan Tuhan, menurut paham ini, terletak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini. [4]

3. Pemikiran Teologi Rasional Mu’tazilah Kalam Menurut Harun Nasution

Setiap tokoh memiliki ciri khas pemikiran dan latar belakang pemikirannya masing-masing. Bila tidak berlebihan, dapat dikatakan bahwa titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Mu’tazilah yang sudah diupamnya. Fauzan Saleh mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif. Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang ijtihad. Akan tetapi Harun Nasution sudah masuk dalam tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi.

Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, sebagian besar pemikir Islam masa itu lebih menitikberatkan kajiannya tentang muamalah. Hal itu terjadi karena suasana zaman yang menarik para pemikir Islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Harun Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ada, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah.

Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. [5]

Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.

4. Tradisional Dalam Pemikiran Kalam

Sedangkan kerangka berpikir tradisional mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzanni. Dengan adanya teks agama tersebut membuat suatu pemahaman menjadi tidak pasti, hasil pemikiran menjadi dzanni, tidak mutlak Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat jelas

b) Memberikan daya yang kecil kepada akal (tidak memberikan kebebasan dalam berpikir). [6]

Dari paparan dua bentuk kerangka berpikir dalam ilmu kalam di atas dapat disimpulkan bahwa Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang kepada wahyu sebagai sumber pokok. Dalam hal ini, perbedaan yang muncul hanyalah bersifat interpretasi mengenai teks ayat-ayat Alqur’an maupun Hadis.

Perbedaan dalam interpretasi, seperti yang dikatakan itu, menimbulkan aliran-aliran yang tidak sama. Di antara para teolog ada yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat untuk memberi interpretasi yang bebas tentang teks Alqur’an dan hadis nabi sehingga dengan demikian timbullah aliran teologi yang dipandang liberal dalam Islam, yaitu Mu’tazilah.

Di pihak lain, terdapat pula sekelompok teolog yang melihat bahwa akal tidak mampu untuk memberikan interpretasi terhadap teks Alqur’an, seandainyapun dianggap mampu resiko kesalahannya lebih besar daripada kebenaran yang akan didapatkan. Kendatipun justru fakta ini yang didapatkan, namun semua sepakat bahwa sumber kebenaran itu hanyalah wahyu Tuhan itu.

5. Ciri Teologi Tradisional

Sementara itu, ciri-ciri teologi tradisional dapat di lihat dalam pembagiannya, ciri tersebut adalah :

a) Akal mempunyai kedudukan yang rendah, karenanya dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal

b) Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak

c) Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukan menurut sunatullah, namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan. [7]

6. Pemikiran Kalam Tradisional Al Ridha

Untuk mengetahui corak teologi Rasyid Ridhâ, maka harus ditinjau terlebih dahulu pendapatnya tentang permasalahan-permasalahan teologi Islam.

Ridhâ mengakui dan menetapkan adanya sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan bersifat azali dan kekal, sebab tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan tergambar dalam al-Asma’ al-Husna. Sifat Tuhan tidak sama dengan sifat manusia. Ilmu Tuhan tidak timbul seperti ilmu manusia dan tidak diperoleh melalui panca indera dan akal. Sifat Tuhan tidak dapat dibayangkan bagaimana cara (laisa kamitslihi syai’un). Ridhâ menghindari pembahasan sifat dan zat Tuhan karena tidak dapat dijangkai akal manusia.

Oleh karenanya, ia menafsirkan ayat-ayat zanny secara literal sebagaimana adanya dalam al-Qur’an. Ia berkeyakinan bahwa sifat-sifat jasmaniah pada Allah tidak sama dengan sifat-sifat jasmaniah pada makhluk. [8]

Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa ayat-ayat tajassum harus diimani tanpa mempersoalkannya, sebab mempersoalkan hakikat sifat Tuhan. Mempersoalkan sifat Tuhan termasuk urusan bid’ah. Kemampuan akal manusia sangat terbatas untuk mengungkapkan makna sebenarnya dari ayat-ayat tajassum (antropomorfisme).

Ridhâ terlihat sangat tradisional. Ia memberikan kedudukan yang amat rendah kepada akal manusia untuk mengetahui keberadaan tentang Tuhan, baik sifat maupun zat.

Menurut Ridhâ, akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebut secara rinci dalam al-Qur’an dan hadits serta untuk mengetahui ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat atau kehidupan duniawi. Dalam bidang ibadah khassah akal tidak mampu mengetahuinya.

Objek ijtihad menurutnya hanyalah dalam bidang kemasyakatan bukan dalam bidang ibadah khassah, karena persoalan kemasyarakatan mengalami perubahan, sedangkan persoalan ibadah khassah tidak mengalami perubahan.

Menurutnya akal penting dalam memberikan interpretasi terhadap persoalan-persoalan teologis, memahami ayat-ayat al-Qur’an dan meneliti hadits nabi dan pendapat sahabat.

Akal manusia tidak dapat mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya. Adapun untuk memperoleh hikmah dan hujjah serta kemantapan pemahaman tentang ketuhanan setelah mengikuti wahyu, akal manusia mempunyai fungsi yang sangat signifikan dan kedudukan tinggi. Dalam pandangan Ridhâ, wahyu lebih banyak berfungsi sebagai informasi dari pada konfirmasi. Wahyu berfungsi memberikan informasi tentang segala perincian terhadap apa-apa yang diinformasikan wahyu. Oleh karenanya, wahyu memiliki posisi penting lagi tinggi.

Wahyu dalam pandangan Ridhâ berfungsi untuk memberikan informasi kepada manusia tentang persoalan-persoalan keyakinan bersyukur kepada Allah dan memberikan ketentuan umum dan bersifat garis besar tentang perbuatan-perbuatan yang ditetapkan syari’at. [9]

Merujuk apa yang dikatakan Harun Nasution, corak pemikiran seperti ini, sesuai dengan corak teologi tradisional. Dalam hal ini, Ridhâ amat tradisional dalam memahami fungsi akal dan wahyu. Namun demikian, menurut hemat penulis, Ridhâ adalah seorang yang amat hati-hati untuk memainkan peran akal secara lebih dari padan peran wahyu.

Membaca dan memahami corak teologi Ridhâ dapat dipahami, ia sangat tradisional. Buktinya, untuk urusan akal dan fungsi wahyu, ia lebih akrab dengan teologi tradisional. Dalam hal kebebasan berpikir, berkehendak, dan berbuat, pendapatnya lebih dekat kepada teologi rasional. Dalam hal perbuatan dan keadilan, ia berada pada pendapat rasional.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bila disimpulkan secara garis besar mengenai pemikiran rasional dan tradisional dalam ilmu kalam dapat dibedakan seperti berikut :

Kerangka berpikir rasional memiliki prinsip-prinsip yaitu:

a) Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam al-Quran dan Hadits Nabi, yaitu ayat yang naqli. Dengan adanya dogma tersebut membuat para pemikir rasional menjadikan pokok ajaran utama karena sudah tertulis.

b) Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

Sedangkan kerangka berpikir tradisional mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzanni. Dengan adanya teks agama tersebut membuat suatu pemahaman menjadi tidak pasti, hasil pemikiran menjadi dzanni, tidak mutlak tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat jelas.

b) Memberikan daya yang kecil kepada akal (tidak memberikan kebebasan dalam berpikir).

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih terdapat beberapa kesalahan baik dari isi dan cara penulisan.

Untuk itu kami sebagai penulis mohon maaf apabila pembaca tidak merasa puas dengan hasil yang kami sajikan, dan kritik beserta saran juga kami harapkan agar dapat menambah wawasan untuk memperbaiki penulisan makalah kami.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Afrizal M, 2006. Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga.

Harun Nasution, 2002. Teologi Islam, Jakarta: UI Press.

Muhaimin, 2000. Pembaruan Islam, Yogyakarta, Pustaka.

Sirajuddin Zar, 1997. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Sirajuddin Zar, 2003.Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, Padang, IAIN-IB Press.

http://keyzaja.blogspot.com/2010/01/harun-nasution-dan-pemikiran.html

http://www.zonependidikan.co.cc/2010/05/kerangka-berpikir-rasional-berpikir.html



[2] Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga, 2006. hal. 26

[3] Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, Padang, IAIN-IB Press, 2003. hal. 4-5.

[7] Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997. hal. 1-2

[8] Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 2002. hal. 71

[9] Muhaimin, Pembaruan Islam, Yogyakarta, Pustaka, 2000. hal. 29-31.

2 komentar:

rogayah alatas mengatakan...

kalau gak boleh dibaca dan di copy gak usah nulis deh..

Al mengatakan...

udah ga bisa di baca sama di copy buat apa nulis blog

Posting Komentar