BAB I
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
1. Biografi Muhamad Bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahhab, yang memiliki nama lengkap Syaikh al-Islam al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab iaitu bapa kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd.
Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
2. Perjuangan Memurnikan Dan Mengembalikan Akidah Islam
1. Awal Pergerakan
Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu.
Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar.
Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut..
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya
BAB II
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN JAMALUDIN AL AFGHANI
1. Biografi Politik Al Afghani dalam mempersatukan umat Islam
Bagaimana kita merekonsialisasi kecenderungan Al Afghani yang tampak kontradiktif tersebut?. Untuk menjawabnya, kita harus melihat dalam biografi sosial politik Al Afghani. Kita mesti mengetahui Al Afghani lebih merupakan seorang aktivis ketimbang pemikir dan ia lebih merupakan seorang Orator politik publik yang membangkitkan umat Islam. Ini tidak berarti bahwa ia tidak mempunyai ide-ide politik. Akan tetapi, ide-ide politiknya mesti dipahami dalam konteks apa yang ia alami dan ia perjuangkan
2. Gagasan Dari Salah Satu Ide Pan-Islamisme Al-Afghani
Pengalaman yang diserap Al-Afghani selama lawatannya ke Barat menumbuhkan semangatnya untuk mamajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis mulai hndak menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard yakni :
1. Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
2. Semangat perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masi menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen.
3. Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan Islam.
4. Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya sebagain mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
BAB III
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN MUHAMMAD ABDUH
1. Riwayat Singkat
Muhammad Abduh lahir di Mesir tahun 1849. Ayahnya Hasan Khairullah berasal dari Turki. Ibunya bernama Junainah berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa yang sama dengan Umar bin Khattab.
Ketika Muhammad Abduh berusia 15 tahun ayahnya kawin lagi dan dikaruniai banyak anak. Hal ini menempatkan Abduh hidup dalam suatu keluarga yang didiami lebih dari seorang istri dan anak-anak yang berlainan ibunya. Keadaan rumah tangga semacam ini besar pengaruhnya terhadap pemikiran Muhammad Abduh tentang perbaikan masyarakat Mesir.
Muhammad Abduh dibesarkan dalam asuhan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan sekolah tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh. Proses pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Quran sebelum oleh orangtuanya diserahkan kepada seorang guru agama di Masjid Tanta untuk belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama dari Syekh Ahmad tahun 1862.
2. Pemikiran Abduh dalam Bidang Politik
Di bidang politik, ia berpendapat bahwa terdapat hubungan yang erat antara seseorang dengan tanah airnya. Oleh karena itu, seseorang harus mencintai dan mempertahankan tanah airnya dengan alasan bahwa tanah air merupakan tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal. Demikian juga bahwa tanah air tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban yang merupakan dasar kehidupan politik yang akan menghubungkan seseorang untuk bangga atau terhina karenanya.
Prinsip demokrasi harus secara bersama-sama dilaksanakan oleh rakyat dan pemerintah. Sejarah Islam telah membuktikan betapa kuatnya demokrasi dipegangi oleh kaum muslimn pada masa-masa pertama Islam. Sebagai contoh dikemukakan masa Khalifah Umar bin Khattab. Menurut pendapatnya, kalau prinsip demokrasi menjdai suatu kewajiban bagi rakyat dan pemerintah maka kewajiban pemerintah terhadap rakat ialah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bekerja dengan bebas dan dengan cara yang benar agar dapat mewujudkan kebaikan bagi dirinya dan masyarakat.
Mengenai Undang-Undang Negara, Muhamad Abduh berpendapat bahwa tiap negara mempunyai Undang-undang yang cocok dengan dasar-dasar kebudayaan dan politik yang berlaku di tempat itu atas dasar perbedaan geografi, keadaaan perdagangan serta pertaniaannya. Perbedaan itu juga disebabkan karena adat kebiasaan, akhlak dan kepercayaannya.
Oleh karaena itu undang-undang yang sesuai dengan suatu bangsa di suatu Negara belum tentu sesuai bagi bangsa yang lain. Maka dalam pembuatan undang-undang diperlukan upaya untuk memperhatiakn perbedaan-perbedaan di kalangan rakyat baik strata kecerdasannya maupun keadaan sosialnya.
Demikian juga perlu memperhatikan adapt-istiadatnya agar para pembuat undang-undang dapat memperhatikan hubungan pekerjaan rakyatnya dengan batas-batas yang membawa manfaat dan menghindari keburukan. Dengan batas-batas yang membawa manfaat dan menghindari keburukan. dengan demikian penyususn undang-undang tidak perlu meniru pembuatan undang-undang di Negara lain.
Mengenai bentuk undang-undang dan peraturan pada umumnya bagi suatu bangsa, harus mencerminkan karakter rakyatnya sesuai dengan kebiasaan hidupnya. Kelainan peraturan baik horizontal maupun vertikal tidak lepas dari karakter tersebut. Keadaan inlah yang menjadikan mengapa kaum cerdik pandai pertama-tama harus mengusahakan untuk mengubah karakter dan menggantikan akhlak ketika mereka hendak membuat suatu peraturan yang kokoh untuk masyarakat. Jadi pendidikanlah yang terlebih dahulu diutamakan agar mereka bisa mencapai tujuan
BAB IV
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN M.IQBAL
1. Riwayat Singkat
Muhammad Iqbal (1877-1938 M) lahir di Sialkot, Punjab, wilayah Pakistan (sekarang), 9 Nopember 1877M, dari keluarga yang religius. Ayahnya, Muhammad Nur adalah seorang tokoh sufi, sedang ibunya, Imam Bibi, juga dikenal sebagai muslimah yang salehah. Pendidikan formalnya dimulai di Scottish Mission School, di Sialkot, di bawah bimbingan Mir Hasan, seorang guru yang ahli sastra Arab dan Persia. Kemudian di Goverment College, di Lahore, sampai mendapat gelas BA, tahun 1897, dan meraih gelar Master dalam bidang filsafat, tahun 1899, dibawah bimbingan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis terkenal. Selama pendidikan ini, Iqbal menerima beasiswa dan dua medali emas karena prestasinya dalam bahasa Arab & Inggris2
2. Gagasan dan Pemikiran M. Iqbal
a. Methafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi.
Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
BAB V
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN SAYYID AHMAD KHAN
1. Riwayat Hidup Sayyid ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah dan Ali dan dia dilahirkan di Delhi pada tahun 1817 M. Nenek dari Syyaid Ahmad Khan adalah Syyid Hadi yang menjadi pembesar istana pada zaman Alamaghir II ( 1754-1759 ) dan dia sejak kecil mengenyam pendidikan tradisional dalam wilayah pengetahuan Agama dan belajar bahasa Arab dan juga pula belajar bahasa Persia. Ia adalah sosok orang yang gemar membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan dia ketika berumur belasan tahun dia bekerja pada serikat India Timur. Bekerja pula sebagai Hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali pulang ke kota kelahirannya Delhi.
Di kota inilah dia gunakan waktunya dan kesempatannya untuk menimba ilmu serta bergaul dengan tokoh – tokoh , pemuka Agama dan sekaligus mempelajari serta melihat peninggalan – peninggalan kejayaan Islam, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Selama di Delhi Sayyid Ahmad Khan memulai untuk mengarang yang mana karyanya yang pertama adalah Asar As – Sanadid. Dan pada tahun 1855 dia pindah ( hijrah ) ke Bijnore, di tempat ini pula dia tetap mengarang buku – buku penting mengenai Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan di akibatkan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan ( anarkis ) terhadap penduduk India.
2. Diantara ide-ide yang cemerlang Sayyid ahmad Khan
a) Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan ummat Islam India, dapat diwujudkan dengan hanya bekerjasama dengan Inggris. Inggris merupakan penguasa terkuat di India, dan menentang kekuasaan itu tidak membawa kebaikan bagi ummat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India.
b) Sayid Ahmad Khan melihat bahwa ummat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban Islam klasik telah hilang dan telah timbul peradaban baru di barat. Dasar peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu akal mendapat penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan. Tetapi sebagai orang Islam yang percaya kapada wahyu, ia berpendapat bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas. Karena ia percaya pada kekuatan dan kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia percaya pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan melakukan perbuatan Alam, Sayyid Ahmad Khan selanjutnya, berjalan dan beredar sesuai dengan hukum alam yang telah ditentukan Tuhan itu.
c) Sejalan dengan ide-ide diatas, ia menolak faham Taklid bahkan tidak segan-segan menyerang faham ini. Sumber ajaran Islam menurut pendapatnya hanyalah Al Qur’an dan Al Hadist.
d) Yang menjadi dasar bagi system perkawinan dalam Islam, menurut pendapatnya, adalah system monogamy, dan bukan system poligami sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama’-ulama’ dizaman itu. Poligami adalah pengecualian bagi system monogamy itu. Poligami tidak dianjurkan tetapi dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu.
e) Dalam ide politik, Sayyid Ahmad Khan, berpendapat bahwa ummat Islam merupakan satu ummat yang tidak dapat membentuk suatu Negara dengan ummat Hindu. Ummat Islam harus mempunyai Negara tersendiri,. Bersatu dengan ummat Hindu dalam satu Negara akan membuat minoritas Islam yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam mayoritas ummat Hindu yang lebih tinggi kemajuannya.
Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid Ahmad Khan mengenai pembaharuan dalam Islam. Ide-ide yang dimajukannya banyak persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Kedua pemuka pembaharuan ini sama-sama memberi penghargaan tinggi kepada akal manusia, sama-sama menganut faham Qadariyah, sama-sama percaya kepada hukum alam ciptaan Tuhan, sama-sama menentang taklid, dan sama-sama membuka pintu ijtihad yang dianggap tertutup oleh ummat Islam pada umumnya diwaktu itu.
BAB VI
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN HARUN NASUTION
1. Riwayat Singkat
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 23 September 1919. Ia dilahirkan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad. Ia adalah seorang ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Ia terpilih menjadi Qadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.
Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar Ahmad.
Ia pernah bermukim di Mekah sehingga cukup mengerti bahasa Arab dengan baik. Harun menempuh pendidikan dasar di bangku sekolah Belanda. Ia sekolah di HIS selama tujuh tahun. Selain itu, ia juga belajar mengaji di rumah.
2. Modernisme Harun: Warna berbeda dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bukanlah “barang” baru ketika Harun Nasution mengutarakan berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa Indonesia (sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia) merupakan salah satu gudang pemikiran Islam. Memang, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia baru dimulai (secara massif dan aplikatif) sejak sekitar masa pergerakan nasional. Pemikiran Islam pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaharuan Islam yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).
Pemikiran Islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai dengan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok tersebut. Pada masa itu, masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi tentu tidak tinggal diam melihat gerakan “baru” tersebut. Reaksi itulah yang juga melahirkan gerakan yang disebut tradisionalisme.
Pengusung gerakan modernisme pada saat itu antara lain adalah H.O.S. Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran Islam tersebut. Akar pemikiran itu lalu menjalar kepada pemikiran aplikatif dalam kehidupan modern. Beberapa hal yang sering menjadi bahan pembicaraan atau bahkan perdebatan adalah mengenai politik dan negara. Pada tahun 1940-an, terjadi polemik pemikiran politik Islam antara Natsir dan Soekarno.
Pembicaraan mengenai hal ini adalah sebuah respon seorang Mohammad Natsir atas pernyataan pemikiran Soekarno bahwa zaman modern menuntut pemisahan agama dan negara seperti yang dipraktekkan oleh Musthafa Kemal “Attaturk” Pasha di Mesir.
Bahan pembicaraan lainnya adalah mengenai sistem ekonomi yang direlevansikan dengan pembinaan masyarakat menurut Islam. Pemikiran tentang hal tersebut diusung oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto ketika mereka (pada masanya masing-masing) berhadapan dengan pihak komunis dan nasionalis. Pada umumnya, sampai pada masa konstituante tahun 1956-1959, pemikiran Islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan muamalah. Masalah lainnya yang juga diangkat, tidak lebih hanya karena merupakan tantangan pihak lawan yang lebih intens.
3. Teologi Rasional Mu’tazilah ala Harun Nasution
Setiap tokoh memiliki ciri khas pemikiran dan latar belakang pemikirannya masing-masing. Bila tidak berlebihan, dapat dikatakan bahwa titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Mu’tazilah yang sudah diupamnya. Fauzan Saleh mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif.
Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang ijtihad. Akan tetapi Harun Nasution sudah masuk dalam tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, sebagian besar pemikir Islam masa itu lebih menitikberatkan kajiannya tentang muamalah. Hal itu terjadi karena suasana zaman yang menarik para pemikir Islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Harun Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ada, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah.
BAB VII
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN NURKHOLIS MAJID
1. Biografi
Istilah “pembaharuan Pemikiran Islam” di Indonesia telah merupakan trade mark yang menempel pada nama Nurcholish Madjid (NM). Meskipun Harun Nasution (HN) mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan kepada NM. Inti pembaharuan pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, sedangkan HN membawa ide rasionalisasi pemahaman Islam. Karena keterbatasan ruang, tulisan ini hanya akan menggambarkan ulang konstruk pembaharuan Islam yang ditawarkan NM pada tahun 1970 dan 1972, dan bagaimana realisasi dan implikasinya terhadap situasi pemikiran Islam dan kondisi ummat Islam hasil dari gagasan yang telah berjalan lebih kurang 36 tahun yang lalu itu. Evaluasi dan kritik ini diharapkan dapat ditanggapi dalam amosfir ilmiyah dengan kesadaran akan perlunya mengembangkan sikap “keterbukaan” dan sikap pendewasaan intelektual demi membangun peradaban Islam. Ini sejalan dengan apa yang sering disampaikan NM sendiri bahwa “kita harus belajar mengkritik dan menerima kritik”. Untuk menangkap gagasan awal pembaruan pemikiran Islam NM, Pidato di Taman Ismail Marzuki tahun 1971-1972 menjadi rujukan utama, sedangkan untuk melihat realisasi gagasan itu akan dirujuk buku yang dianggap magnum opus-nya, yaitu Islam Doktrin Dan Peradaban (IDP). Hipotesisnya, apakah ide atau gagasan yang dibawa oleh buku ini tetap menawarkan sebuah “pembaharuan”.
I. Gagasan awal
Perjalanan awal gagasan pembaharuan NM dimulai dari pidatonya di Taman Ismail Marzuki tahun pada 2 januari 1970 berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan, dan pada tanggal 13 Januari 1972, berjudul Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia.Inti dari gagasan yang disampaikan itu dapat disarikan dalam beberapa poin:
A. Kondisi Ummat Islam
Ketika NM mengungkapkan gagasan “pembaruannya” itu ummat Islam
Indonesia baru melalui masa-masa pergumulan ideologi yang sangat keras di era Orde Lama dan masuk kedalam era Orda Baru. Namun, di era Orde Baru ternyata umat Islam harus menghadapi masalah yang lain yaitu progam de-politisasi. Nampaknya kekuatan ideologis umat Islam dengan partai politiknya Masyumi dianggap “membahayakan” tatanan politik Orde Baru dan diupayakan agar tidak menjadi kekuatan yang menyaingi ideologi negara. Upaya-upaya penggembosan dilakukan dengan berbagai macam cara. Dalam kondisi seperti ini NM menyatakan bahwa:
ummat Islam tidak tertarik kepada partai-partai atau organisasi-organisasi Islam kecuali sedikit saja. Sikap mereka kira-kira bisa dirumuskan dengan “Islam yes, partai Islam no!” Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang sudah tidak menarik lagi.
Gambaran NM tentang penolakan umat terhadap partai Islam merupakan diskripsi yang tidak valid, sebab kekalahan partai-partai Islam waktu itu bukan karena rendahnya minat ummat Islam untuk memperjuangkan Islam lewat partai politik, tapi karena sistim politik yang tidak memberi kesempatan umat Islam untuk bersaing secara terbuka Terbukti pada era reformasi dimana bangsa Indonesia mengenyam euforia kebebasan berpolitik partai-partai berasas Islam memperoleh suara yang cukup signifikan. Jika asumsi NM itu valid, maka semestinya kondisi ini berkembang hingga zaman reformasi. Tapi perkembangan yang terjadi justru “Islam Yes Partai Islam Yes”. Ini berarti umat Islam masih berpandangan bahwa berislam adalah juga berpartai politik.
BAB VIII
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN NU
1. Gagasan NU
Pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses ‘kembali ke khitthah 1926’: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun (maksudnya dengan Golkar) dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi ‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya – pertemuan, seminar, ... – tidak lagi dilarang dan malah sering ‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.
Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini Nahdlatul Ulama dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran – baik pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa peralihan tersebut; tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil. Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, Wahid Hasyim dan Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir) dari sistem politik; massa NU tak dilibatkan dan tetap berada di pinggiran. Tokoh NU yang bisa survive dekat pusat kekuasaan ialah Idham Chalid, politisi gaya lama yang tidak mewakili sikap atau ideologi tertentu dan selalu bisa beradaptasi dengan setiap perubahan.
BABIX
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN ALI SYARI’ATI
1. Pemikiran Islam Revolusioner Ali Syari’ati
Ali Syari’ati merupakan salah satu tokoh intelektual muslim yang terkenal di dunia. Ia tumbuh berkembang menjadi intelektual terkemuka adalah karena kekuasaan Syah Reza Pahlevi yang mengumbar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Ali Syari’ati tampil untuk melontarkan gagasan-gagasan yang radikal tentang oposisi dan revolusi yang bersumber pada ajaran Syi’ah yang dielaborasi dengan pemikiran Marxisme untuk menampilkan gagasan yang baru yaitu gagasan Islam revolusioner.
Untuk mencapai adanya sarana menuju revolusi Ali Syari’ati berpatokan pada Islam, Islam haruslah dijadikan ideologi dasar untuk mewujudkan gerakan pembaharuan atau revolusi. Ada empat langkah yang dikemukakan oleh Ali syari’ati dalam Gagasan Islam revolusionernya :
1. Kebutuhan akan ideologi Islam, ideologi sangatlah penting untuk dimiliki umat muslim karena ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita.
2. Pemahaman terhadap Tauhid sebagai simbol pembebasan manusia, dengan memiliki pandangan dunia tauhid, menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan yaitu kekuatan Tuhan, sehingga akan menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan, dominasi dan belenggu oleh manusia atas manusia.
3. Kembali ke akar tradisi, masyarakat memang perlu kembali kepada akar tradisi semula yaitu Islam Syi’ah yang sejati.bukan Islam gaya penguasa tetapi Islam yang digagas oleh Ali bin Abi Thalib.
4. Revolusi sebagai jalan pembebasan, untuk membebaskan rakyat yang tertindas diperlukan adanya revolusi sebagai satu-satunya jalan menuju pembebasan manusia dan diperlukan pimpinan menuju revolusi yaitu pemimpin yang tercerahkan (rausyanfikr).
BAB X
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN PERSIS, MUHAMADYAH, MASYUMI
1. GENEALOGI PEMBAHARUAN PERSIS
PERSIS secara genealogi, mengambil pembaharuan Islam sebagaimana yang dikumandangakan oleh Muhammad Abduh, seorang pemikir ultrarasional dari mesir dengan konsepsi kembali kepada Al- Qur’an dan as- Sunnah (al-Ruju’ Ila al-Qur’an Wa as- Sunnah). Namun sayang, PERSIS hanya mengambil bagian dari Abduh yang telah tereduksi oleh pemikiran sahabat dan muridnya yaitu Sayyid Rasyid Ridho yang berkarakter salaf dengan pendekatan tekstual-ekplanatif . Walau PERSIS melakukan manipulasi diri sebagai gerakan Islam non- Madzhab, faktanya PERSIS mengambil secara apa adanya (taken for granted) gerakan Wahabi yang dikomandoi oleh Muhammad Bin Abdul Wahab dengan melakukan konspirasi poltik dengan Ibnu Su’ud didaratan Arab. Tak ayal lagi, pemikiran dam semangat Wahabi mendominasi wacana dan gerakan PERSIS selanjutnya. Sedangakan Wahabi merupakan kelanjutan dari pembaharuan pemikiran Ibnu Taymiyah yang bermadzhab Hanbali. Ahmad Bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, merupakan pemikir Sunni-as’ariyah yang sangat berpegang teguh pada pendekatan nash yang tekstual disamping Ibu Hazm dan Adu Dawud Adh-Dhohiri.
Dalam sudut pandang genealogi ini, tak heran bila PERSIS sangat didominasi oleh para pemikir bayani (tekstualis-eksplanatif). Hal ini nampak jelas kalau kita menganlisa karya- karya Ustdaz A. Hassan dan para pemikir PERSIS selanjutnya (yang paling produktif tentu Ustadz A. Zakaria). Disinilah letak fondasi rasionalisme tekstualis (ma’qul-al-lafdzi) PERSIS dibangun. Rasional tapi masih berada dalam bayang-bayang paradigma teks.
Sejatinya, PERSIS segera membatasi diri dengan pendekatan bayani (tekstualis-ekplanatif-skriptuaralis) ini dan mulai mengapresiasi pendekatan burhani yang sesungguhnya ( Rasional-demonstratif-kontekstual). Dalam tataran epistemologis ini PERSIS dapat melakukan beberapa hal untuk pencerahan peradaban. Pertama, melalukan kontekstualisasi terhadap nash yang sudah ada dengan melihat makna lahir dan bathin. Kedua, Merasionalisasiikan pendekatan mistik dengan tanpa meninggalkan legitimasi dari nash al-syar’I.
Ketiga, melakukan spiritualisasi terhadap nash yang selama ini dibaca secara makna lahir.
Keempat, melalukan spiritualisasi terhadap pendekatan rasional yang sudah mendapat hantaman keras dari postmodernitas. Kelima, tetap mengapreasiasi pendekatan teks-teks (nash) yang ada sebagai bagian dari khazanah keilmuan islam
2. Muhammadiyah
Ketika Muhammadiyah didirikan oleh KH, Ahmad Dahlan pada tahun 1912, umat islam sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk, Bersama seluruh bangsa Indonesia, mereka terbelakang dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah kemakmuran dan ekonomi yang parah serta kemampuan politis yang tidak berdaya. Lebih memperhatinkan lagi identitas keislaman merupakan salah satu poin negatif kehidupan umat, Islam waktu itu identik dengan profil kaum santri yang selalu mengurusi kehidupan akhirat sementara tidak tahu dan tidak mau tahu dengan perkembangan zaman, Sementara lembaga organisasi keagamaan juga masih berkelut dengan urusan yang tidak banyak bersentuh dengan dinamika realitas sosial apalagi berusaha untuk memajukan.
Ajaran islam seakan menjadi belenggu yang semakin membenamkan umatnya kepada situasi yang tidak berharga dan tidak berdaya, disisi lain kelompok masyarakat yang terdidik menjadi alergi dengan islam dan kaum muslim karena dianggap sebagai sumber keterbelakangan masyarakat dan tidak bisa dijadikan jalan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Sebagaimana tercermin dalam profil pendirinya Muhammadiyah hadir sebagai pendobrak di inspirasikan oleh gerakan pembaharuan islam di dunia internasional yang ditokohi jamaludin Al-afgani, Muhammad abduh, Rasyid Ridho dan lain-lain, Muhammadiyah bergerak menggali nilai-nilai islam yang benar dan universal sebagai petunjuk hidup dan kehidupan. Kemudian Muhammadiyah berkembang dalam arah gerakan modernis, sebagai avan grade masyarakat Indonesia yang sedang bangkit dari tidur panjang selama tiga setengah abad di bawah kolonialisme, sejalan dengan logika modernisme secera akumulatif Muhammadiyah berkembang menjadi jaringan organisasi besar dengan amal usaha yang makin meningkat dalam jumlah dan ragamnya.
Ada dua arah perkembangan Muhammadiyah dalam kerangka kemodernanya, yaitu yang pertama pertumbuhan dan kemajuan ide tentang pertumbuhan growth dan kemajuan progress merupakan dua kata kunci utama kebudayaan modern yang menggambarkan akumulasi jumlah quantity dan peningkatan keragaman diversity.Keduanya merupakan rumusan atau turunan dari ciri utama modernisme dan materialisme Muhammadiyah mencoba menyuntikkan nilai-nilai materialisme kedalam masyarakat yang telah keropos karena mengaggap kehidupan materi duniawi tidak memiliki nilai-nilai secara religius.
2. MASYUMI
Masyumi, yang didirikan oleh hampir semua organisasi Islam, baik pasca maupun pra kemerdekaan RI, adalah sebagai partai yang berniat merealisasikan pandangan Islam dan Politik di Indonesia, Lahirnya partai ini ditujukan guna untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan tanggal 7 November 1945, diadakanlah muktamar umat Islam Indonesia di Yogyakarta, di dalam keputusannya, diambil kesepakatan bahwa diperlukannya suatu wadah untuk menampung aspirasi umat Islam dan menyalurkannya melalui wadah tersebut.
Maka, partai Masyumi pun dibentuk, Besarnya partai Masyumi ternyata tidak bisa dielakkan dari perpecahan bahkan terjadi pembubaran pada tahun 1960 oleh rezim pada saat itu, Setelah bergantinya dua rezim, ternyata tidak mampu menghilangkan roh partai itu, justru sebaliknya, sisa-sisa para pegiatnya sanggup membangkitkan dan melahirkannya kembali, Namun, disayangkan persatuan para pegiatnya itu tidak ada, sehingga melahirkan beberapa bentuk partai Islam yang berbeda dari partai Masyumi atau sebagai metamorfosis partai Masyumi.
Hubungan yang terjadi antara Masyumi dengan partai yang lahir dalam pemilu 1999 dan partai apa yang merupakan partai metamorfosis dari partai Masyumi Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari penyusunan ini, maka pendekatan yang digunakan adalah sosio-historis, yaitu menela’ah fenomena sosial dan partai-partai yang lahir pada pemilu 1999 dengan memaparkan perjalanan Masyumi dari awal berdirinya (1945) hingga partai ini dibubarkan (1960), Kemudian data yang terkumpul dianalisis secara kuantitaif dengan metode berpikir deduktif-induktif Dengan menggunakan pendekatan dan metode tersebut di atas menunjukkan bahwa, mendirikan partai Islam merupakan suatu kemaslahatan bagi umat. Sebagaimana Masyumi, pembentukan partai tersebut selain bertujuan untuk kelangsungan demokrasi, juga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah.
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
1. Biografi Muhamad Bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahhab, yang memiliki nama lengkap Syaikh al-Islam al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab iaitu bapa kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd.
Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
2. Perjuangan Memurnikan Dan Mengembalikan Akidah Islam
1. Awal Pergerakan
Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu.
Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar.
Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut..
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya
BAB II
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN JAMALUDIN AL AFGHANI
1. Biografi Politik Al Afghani dalam mempersatukan umat Islam
Bagaimana kita merekonsialisasi kecenderungan Al Afghani yang tampak kontradiktif tersebut?. Untuk menjawabnya, kita harus melihat dalam biografi sosial politik Al Afghani. Kita mesti mengetahui Al Afghani lebih merupakan seorang aktivis ketimbang pemikir dan ia lebih merupakan seorang Orator politik publik yang membangkitkan umat Islam. Ini tidak berarti bahwa ia tidak mempunyai ide-ide politik. Akan tetapi, ide-ide politiknya mesti dipahami dalam konteks apa yang ia alami dan ia perjuangkan
2. Gagasan Dari Salah Satu Ide Pan-Islamisme Al-Afghani
Pengalaman yang diserap Al-Afghani selama lawatannya ke Barat menumbuhkan semangatnya untuk mamajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis mulai hndak menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard yakni :
1. Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
2. Semangat perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masi menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen.
3. Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan Islam.
4. Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya sebagain mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
BAB III
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN MUHAMMAD ABDUH
1. Riwayat Singkat
Muhammad Abduh lahir di Mesir tahun 1849. Ayahnya Hasan Khairullah berasal dari Turki. Ibunya bernama Junainah berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa yang sama dengan Umar bin Khattab.
Ketika Muhammad Abduh berusia 15 tahun ayahnya kawin lagi dan dikaruniai banyak anak. Hal ini menempatkan Abduh hidup dalam suatu keluarga yang didiami lebih dari seorang istri dan anak-anak yang berlainan ibunya. Keadaan rumah tangga semacam ini besar pengaruhnya terhadap pemikiran Muhammad Abduh tentang perbaikan masyarakat Mesir.
Muhammad Abduh dibesarkan dalam asuhan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan sekolah tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh. Proses pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Quran sebelum oleh orangtuanya diserahkan kepada seorang guru agama di Masjid Tanta untuk belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama dari Syekh Ahmad tahun 1862.
2. Pemikiran Abduh dalam Bidang Politik
Di bidang politik, ia berpendapat bahwa terdapat hubungan yang erat antara seseorang dengan tanah airnya. Oleh karena itu, seseorang harus mencintai dan mempertahankan tanah airnya dengan alasan bahwa tanah air merupakan tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal. Demikian juga bahwa tanah air tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban yang merupakan dasar kehidupan politik yang akan menghubungkan seseorang untuk bangga atau terhina karenanya.
Prinsip demokrasi harus secara bersama-sama dilaksanakan oleh rakyat dan pemerintah. Sejarah Islam telah membuktikan betapa kuatnya demokrasi dipegangi oleh kaum muslimn pada masa-masa pertama Islam. Sebagai contoh dikemukakan masa Khalifah Umar bin Khattab. Menurut pendapatnya, kalau prinsip demokrasi menjdai suatu kewajiban bagi rakyat dan pemerintah maka kewajiban pemerintah terhadap rakat ialah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bekerja dengan bebas dan dengan cara yang benar agar dapat mewujudkan kebaikan bagi dirinya dan masyarakat.
Mengenai Undang-Undang Negara, Muhamad Abduh berpendapat bahwa tiap negara mempunyai Undang-undang yang cocok dengan dasar-dasar kebudayaan dan politik yang berlaku di tempat itu atas dasar perbedaan geografi, keadaaan perdagangan serta pertaniaannya. Perbedaan itu juga disebabkan karena adat kebiasaan, akhlak dan kepercayaannya.
Oleh karaena itu undang-undang yang sesuai dengan suatu bangsa di suatu Negara belum tentu sesuai bagi bangsa yang lain. Maka dalam pembuatan undang-undang diperlukan upaya untuk memperhatiakn perbedaan-perbedaan di kalangan rakyat baik strata kecerdasannya maupun keadaan sosialnya.
Demikian juga perlu memperhatikan adapt-istiadatnya agar para pembuat undang-undang dapat memperhatikan hubungan pekerjaan rakyatnya dengan batas-batas yang membawa manfaat dan menghindari keburukan. Dengan batas-batas yang membawa manfaat dan menghindari keburukan. dengan demikian penyususn undang-undang tidak perlu meniru pembuatan undang-undang di Negara lain.
Mengenai bentuk undang-undang dan peraturan pada umumnya bagi suatu bangsa, harus mencerminkan karakter rakyatnya sesuai dengan kebiasaan hidupnya. Kelainan peraturan baik horizontal maupun vertikal tidak lepas dari karakter tersebut. Keadaan inlah yang menjadikan mengapa kaum cerdik pandai pertama-tama harus mengusahakan untuk mengubah karakter dan menggantikan akhlak ketika mereka hendak membuat suatu peraturan yang kokoh untuk masyarakat. Jadi pendidikanlah yang terlebih dahulu diutamakan agar mereka bisa mencapai tujuan
BAB IV
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN M.IQBAL
1. Riwayat Singkat
Muhammad Iqbal (1877-1938 M) lahir di Sialkot, Punjab, wilayah Pakistan (sekarang), 9 Nopember 1877M, dari keluarga yang religius. Ayahnya, Muhammad Nur adalah seorang tokoh sufi, sedang ibunya, Imam Bibi, juga dikenal sebagai muslimah yang salehah. Pendidikan formalnya dimulai di Scottish Mission School, di Sialkot, di bawah bimbingan Mir Hasan, seorang guru yang ahli sastra Arab dan Persia. Kemudian di Goverment College, di Lahore, sampai mendapat gelas BA, tahun 1897, dan meraih gelar Master dalam bidang filsafat, tahun 1899, dibawah bimbingan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis terkenal. Selama pendidikan ini, Iqbal menerima beasiswa dan dua medali emas karena prestasinya dalam bahasa Arab & Inggris2
2. Gagasan dan Pemikiran M. Iqbal
a. Methafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi.
Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
BAB V
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN SAYYID AHMAD KHAN
1. Riwayat Hidup Sayyid ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah dan Ali dan dia dilahirkan di Delhi pada tahun 1817 M. Nenek dari Syyaid Ahmad Khan adalah Syyid Hadi yang menjadi pembesar istana pada zaman Alamaghir II ( 1754-1759 ) dan dia sejak kecil mengenyam pendidikan tradisional dalam wilayah pengetahuan Agama dan belajar bahasa Arab dan juga pula belajar bahasa Persia. Ia adalah sosok orang yang gemar membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan dia ketika berumur belasan tahun dia bekerja pada serikat India Timur. Bekerja pula sebagai Hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali pulang ke kota kelahirannya Delhi.
Di kota inilah dia gunakan waktunya dan kesempatannya untuk menimba ilmu serta bergaul dengan tokoh – tokoh , pemuka Agama dan sekaligus mempelajari serta melihat peninggalan – peninggalan kejayaan Islam, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Selama di Delhi Sayyid Ahmad Khan memulai untuk mengarang yang mana karyanya yang pertama adalah Asar As – Sanadid. Dan pada tahun 1855 dia pindah ( hijrah ) ke Bijnore, di tempat ini pula dia tetap mengarang buku – buku penting mengenai Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan di akibatkan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan ( anarkis ) terhadap penduduk India.
2. Diantara ide-ide yang cemerlang Sayyid ahmad Khan
a) Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan ummat Islam India, dapat diwujudkan dengan hanya bekerjasama dengan Inggris. Inggris merupakan penguasa terkuat di India, dan menentang kekuasaan itu tidak membawa kebaikan bagi ummat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India.
b) Sayid Ahmad Khan melihat bahwa ummat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban Islam klasik telah hilang dan telah timbul peradaban baru di barat. Dasar peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu akal mendapat penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan. Tetapi sebagai orang Islam yang percaya kapada wahyu, ia berpendapat bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas. Karena ia percaya pada kekuatan dan kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia percaya pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan melakukan perbuatan Alam, Sayyid Ahmad Khan selanjutnya, berjalan dan beredar sesuai dengan hukum alam yang telah ditentukan Tuhan itu.
c) Sejalan dengan ide-ide diatas, ia menolak faham Taklid bahkan tidak segan-segan menyerang faham ini. Sumber ajaran Islam menurut pendapatnya hanyalah Al Qur’an dan Al Hadist.
d) Yang menjadi dasar bagi system perkawinan dalam Islam, menurut pendapatnya, adalah system monogamy, dan bukan system poligami sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama’-ulama’ dizaman itu. Poligami adalah pengecualian bagi system monogamy itu. Poligami tidak dianjurkan tetapi dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu.
e) Dalam ide politik, Sayyid Ahmad Khan, berpendapat bahwa ummat Islam merupakan satu ummat yang tidak dapat membentuk suatu Negara dengan ummat Hindu. Ummat Islam harus mempunyai Negara tersendiri,. Bersatu dengan ummat Hindu dalam satu Negara akan membuat minoritas Islam yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam mayoritas ummat Hindu yang lebih tinggi kemajuannya.
Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid Ahmad Khan mengenai pembaharuan dalam Islam. Ide-ide yang dimajukannya banyak persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Kedua pemuka pembaharuan ini sama-sama memberi penghargaan tinggi kepada akal manusia, sama-sama menganut faham Qadariyah, sama-sama percaya kepada hukum alam ciptaan Tuhan, sama-sama menentang taklid, dan sama-sama membuka pintu ijtihad yang dianggap tertutup oleh ummat Islam pada umumnya diwaktu itu.
BAB VI
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN HARUN NASUTION
1. Riwayat Singkat
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 23 September 1919. Ia dilahirkan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad. Ia adalah seorang ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Ia terpilih menjadi Qadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.
Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar Ahmad.
Ia pernah bermukim di Mekah sehingga cukup mengerti bahasa Arab dengan baik. Harun menempuh pendidikan dasar di bangku sekolah Belanda. Ia sekolah di HIS selama tujuh tahun. Selain itu, ia juga belajar mengaji di rumah.
2. Modernisme Harun: Warna berbeda dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bukanlah “barang” baru ketika Harun Nasution mengutarakan berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa Indonesia (sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia) merupakan salah satu gudang pemikiran Islam. Memang, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia baru dimulai (secara massif dan aplikatif) sejak sekitar masa pergerakan nasional. Pemikiran Islam pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaharuan Islam yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).
Pemikiran Islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai dengan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok tersebut. Pada masa itu, masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi tentu tidak tinggal diam melihat gerakan “baru” tersebut. Reaksi itulah yang juga melahirkan gerakan yang disebut tradisionalisme.
Pengusung gerakan modernisme pada saat itu antara lain adalah H.O.S. Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran Islam tersebut. Akar pemikiran itu lalu menjalar kepada pemikiran aplikatif dalam kehidupan modern. Beberapa hal yang sering menjadi bahan pembicaraan atau bahkan perdebatan adalah mengenai politik dan negara. Pada tahun 1940-an, terjadi polemik pemikiran politik Islam antara Natsir dan Soekarno.
Pembicaraan mengenai hal ini adalah sebuah respon seorang Mohammad Natsir atas pernyataan pemikiran Soekarno bahwa zaman modern menuntut pemisahan agama dan negara seperti yang dipraktekkan oleh Musthafa Kemal “Attaturk” Pasha di Mesir.
Bahan pembicaraan lainnya adalah mengenai sistem ekonomi yang direlevansikan dengan pembinaan masyarakat menurut Islam. Pemikiran tentang hal tersebut diusung oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto ketika mereka (pada masanya masing-masing) berhadapan dengan pihak komunis dan nasionalis. Pada umumnya, sampai pada masa konstituante tahun 1956-1959, pemikiran Islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan muamalah. Masalah lainnya yang juga diangkat, tidak lebih hanya karena merupakan tantangan pihak lawan yang lebih intens.
3. Teologi Rasional Mu’tazilah ala Harun Nasution
Setiap tokoh memiliki ciri khas pemikiran dan latar belakang pemikirannya masing-masing. Bila tidak berlebihan, dapat dikatakan bahwa titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Mu’tazilah yang sudah diupamnya. Fauzan Saleh mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif.
Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang ijtihad. Akan tetapi Harun Nasution sudah masuk dalam tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, sebagian besar pemikir Islam masa itu lebih menitikberatkan kajiannya tentang muamalah. Hal itu terjadi karena suasana zaman yang menarik para pemikir Islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Harun Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ada, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah.
BAB VII
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN NURKHOLIS MAJID
1. Biografi
Istilah “pembaharuan Pemikiran Islam” di Indonesia telah merupakan trade mark yang menempel pada nama Nurcholish Madjid (NM). Meskipun Harun Nasution (HN) mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan kepada NM. Inti pembaharuan pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, sedangkan HN membawa ide rasionalisasi pemahaman Islam. Karena keterbatasan ruang, tulisan ini hanya akan menggambarkan ulang konstruk pembaharuan Islam yang ditawarkan NM pada tahun 1970 dan 1972, dan bagaimana realisasi dan implikasinya terhadap situasi pemikiran Islam dan kondisi ummat Islam hasil dari gagasan yang telah berjalan lebih kurang 36 tahun yang lalu itu. Evaluasi dan kritik ini diharapkan dapat ditanggapi dalam amosfir ilmiyah dengan kesadaran akan perlunya mengembangkan sikap “keterbukaan” dan sikap pendewasaan intelektual demi membangun peradaban Islam. Ini sejalan dengan apa yang sering disampaikan NM sendiri bahwa “kita harus belajar mengkritik dan menerima kritik”. Untuk menangkap gagasan awal pembaruan pemikiran Islam NM, Pidato di Taman Ismail Marzuki tahun 1971-1972 menjadi rujukan utama, sedangkan untuk melihat realisasi gagasan itu akan dirujuk buku yang dianggap magnum opus-nya, yaitu Islam Doktrin Dan Peradaban (IDP). Hipotesisnya, apakah ide atau gagasan yang dibawa oleh buku ini tetap menawarkan sebuah “pembaharuan”.
I. Gagasan awal
Perjalanan awal gagasan pembaharuan NM dimulai dari pidatonya di Taman Ismail Marzuki tahun pada 2 januari 1970 berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan, dan pada tanggal 13 Januari 1972, berjudul Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia.Inti dari gagasan yang disampaikan itu dapat disarikan dalam beberapa poin:
A. Kondisi Ummat Islam
Ketika NM mengungkapkan gagasan “pembaruannya” itu ummat Islam
Indonesia baru melalui masa-masa pergumulan ideologi yang sangat keras di era Orde Lama dan masuk kedalam era Orda Baru. Namun, di era Orde Baru ternyata umat Islam harus menghadapi masalah yang lain yaitu progam de-politisasi. Nampaknya kekuatan ideologis umat Islam dengan partai politiknya Masyumi dianggap “membahayakan” tatanan politik Orde Baru dan diupayakan agar tidak menjadi kekuatan yang menyaingi ideologi negara. Upaya-upaya penggembosan dilakukan dengan berbagai macam cara. Dalam kondisi seperti ini NM menyatakan bahwa:
ummat Islam tidak tertarik kepada partai-partai atau organisasi-organisasi Islam kecuali sedikit saja. Sikap mereka kira-kira bisa dirumuskan dengan “Islam yes, partai Islam no!” Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang sudah tidak menarik lagi.
Gambaran NM tentang penolakan umat terhadap partai Islam merupakan diskripsi yang tidak valid, sebab kekalahan partai-partai Islam waktu itu bukan karena rendahnya minat ummat Islam untuk memperjuangkan Islam lewat partai politik, tapi karena sistim politik yang tidak memberi kesempatan umat Islam untuk bersaing secara terbuka Terbukti pada era reformasi dimana bangsa Indonesia mengenyam euforia kebebasan berpolitik partai-partai berasas Islam memperoleh suara yang cukup signifikan. Jika asumsi NM itu valid, maka semestinya kondisi ini berkembang hingga zaman reformasi. Tapi perkembangan yang terjadi justru “Islam Yes Partai Islam Yes”. Ini berarti umat Islam masih berpandangan bahwa berislam adalah juga berpartai politik.
BAB VIII
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN NU
1. Gagasan NU
Pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses ‘kembali ke khitthah 1926’: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun (maksudnya dengan Golkar) dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi ‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya – pertemuan, seminar, ... – tidak lagi dilarang dan malah sering ‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.
Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini Nahdlatul Ulama dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran – baik pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa peralihan tersebut; tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil. Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, Wahid Hasyim dan Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir) dari sistem politik; massa NU tak dilibatkan dan tetap berada di pinggiran. Tokoh NU yang bisa survive dekat pusat kekuasaan ialah Idham Chalid, politisi gaya lama yang tidak mewakili sikap atau ideologi tertentu dan selalu bisa beradaptasi dengan setiap perubahan.
BABIX
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN ALI SYARI’ATI
1. Pemikiran Islam Revolusioner Ali Syari’ati
Ali Syari’ati merupakan salah satu tokoh intelektual muslim yang terkenal di dunia. Ia tumbuh berkembang menjadi intelektual terkemuka adalah karena kekuasaan Syah Reza Pahlevi yang mengumbar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Ali Syari’ati tampil untuk melontarkan gagasan-gagasan yang radikal tentang oposisi dan revolusi yang bersumber pada ajaran Syi’ah yang dielaborasi dengan pemikiran Marxisme untuk menampilkan gagasan yang baru yaitu gagasan Islam revolusioner.
Untuk mencapai adanya sarana menuju revolusi Ali Syari’ati berpatokan pada Islam, Islam haruslah dijadikan ideologi dasar untuk mewujudkan gerakan pembaharuan atau revolusi. Ada empat langkah yang dikemukakan oleh Ali syari’ati dalam Gagasan Islam revolusionernya :
1. Kebutuhan akan ideologi Islam, ideologi sangatlah penting untuk dimiliki umat muslim karena ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita.
2. Pemahaman terhadap Tauhid sebagai simbol pembebasan manusia, dengan memiliki pandangan dunia tauhid, menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan yaitu kekuatan Tuhan, sehingga akan menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan, dominasi dan belenggu oleh manusia atas manusia.
3. Kembali ke akar tradisi, masyarakat memang perlu kembali kepada akar tradisi semula yaitu Islam Syi’ah yang sejati.bukan Islam gaya penguasa tetapi Islam yang digagas oleh Ali bin Abi Thalib.
4. Revolusi sebagai jalan pembebasan, untuk membebaskan rakyat yang tertindas diperlukan adanya revolusi sebagai satu-satunya jalan menuju pembebasan manusia dan diperlukan pimpinan menuju revolusi yaitu pemimpin yang tercerahkan (rausyanfikr).
BAB X
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN PERSIS, MUHAMADYAH, MASYUMI
1. GENEALOGI PEMBAHARUAN PERSIS
PERSIS secara genealogi, mengambil pembaharuan Islam sebagaimana yang dikumandangakan oleh Muhammad Abduh, seorang pemikir ultrarasional dari mesir dengan konsepsi kembali kepada Al- Qur’an dan as- Sunnah (al-Ruju’ Ila al-Qur’an Wa as- Sunnah). Namun sayang, PERSIS hanya mengambil bagian dari Abduh yang telah tereduksi oleh pemikiran sahabat dan muridnya yaitu Sayyid Rasyid Ridho yang berkarakter salaf dengan pendekatan tekstual-ekplanatif . Walau PERSIS melakukan manipulasi diri sebagai gerakan Islam non- Madzhab, faktanya PERSIS mengambil secara apa adanya (taken for granted) gerakan Wahabi yang dikomandoi oleh Muhammad Bin Abdul Wahab dengan melakukan konspirasi poltik dengan Ibnu Su’ud didaratan Arab. Tak ayal lagi, pemikiran dam semangat Wahabi mendominasi wacana dan gerakan PERSIS selanjutnya. Sedangakan Wahabi merupakan kelanjutan dari pembaharuan pemikiran Ibnu Taymiyah yang bermadzhab Hanbali. Ahmad Bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, merupakan pemikir Sunni-as’ariyah yang sangat berpegang teguh pada pendekatan nash yang tekstual disamping Ibu Hazm dan Adu Dawud Adh-Dhohiri.
Dalam sudut pandang genealogi ini, tak heran bila PERSIS sangat didominasi oleh para pemikir bayani (tekstualis-eksplanatif). Hal ini nampak jelas kalau kita menganlisa karya- karya Ustdaz A. Hassan dan para pemikir PERSIS selanjutnya (yang paling produktif tentu Ustadz A. Zakaria). Disinilah letak fondasi rasionalisme tekstualis (ma’qul-al-lafdzi) PERSIS dibangun. Rasional tapi masih berada dalam bayang-bayang paradigma teks.
Sejatinya, PERSIS segera membatasi diri dengan pendekatan bayani (tekstualis-ekplanatif-skriptuaralis) ini dan mulai mengapresiasi pendekatan burhani yang sesungguhnya ( Rasional-demonstratif-kontekstual). Dalam tataran epistemologis ini PERSIS dapat melakukan beberapa hal untuk pencerahan peradaban. Pertama, melalukan kontekstualisasi terhadap nash yang sudah ada dengan melihat makna lahir dan bathin. Kedua, Merasionalisasiikan pendekatan mistik dengan tanpa meninggalkan legitimasi dari nash al-syar’I.
Ketiga, melakukan spiritualisasi terhadap nash yang selama ini dibaca secara makna lahir.
Keempat, melalukan spiritualisasi terhadap pendekatan rasional yang sudah mendapat hantaman keras dari postmodernitas. Kelima, tetap mengapreasiasi pendekatan teks-teks (nash) yang ada sebagai bagian dari khazanah keilmuan islam
2. Muhammadiyah
Ketika Muhammadiyah didirikan oleh KH, Ahmad Dahlan pada tahun 1912, umat islam sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk, Bersama seluruh bangsa Indonesia, mereka terbelakang dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah kemakmuran dan ekonomi yang parah serta kemampuan politis yang tidak berdaya. Lebih memperhatinkan lagi identitas keislaman merupakan salah satu poin negatif kehidupan umat, Islam waktu itu identik dengan profil kaum santri yang selalu mengurusi kehidupan akhirat sementara tidak tahu dan tidak mau tahu dengan perkembangan zaman, Sementara lembaga organisasi keagamaan juga masih berkelut dengan urusan yang tidak banyak bersentuh dengan dinamika realitas sosial apalagi berusaha untuk memajukan.
Ajaran islam seakan menjadi belenggu yang semakin membenamkan umatnya kepada situasi yang tidak berharga dan tidak berdaya, disisi lain kelompok masyarakat yang terdidik menjadi alergi dengan islam dan kaum muslim karena dianggap sebagai sumber keterbelakangan masyarakat dan tidak bisa dijadikan jalan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Sebagaimana tercermin dalam profil pendirinya Muhammadiyah hadir sebagai pendobrak di inspirasikan oleh gerakan pembaharuan islam di dunia internasional yang ditokohi jamaludin Al-afgani, Muhammad abduh, Rasyid Ridho dan lain-lain, Muhammadiyah bergerak menggali nilai-nilai islam yang benar dan universal sebagai petunjuk hidup dan kehidupan. Kemudian Muhammadiyah berkembang dalam arah gerakan modernis, sebagai avan grade masyarakat Indonesia yang sedang bangkit dari tidur panjang selama tiga setengah abad di bawah kolonialisme, sejalan dengan logika modernisme secera akumulatif Muhammadiyah berkembang menjadi jaringan organisasi besar dengan amal usaha yang makin meningkat dalam jumlah dan ragamnya.
Ada dua arah perkembangan Muhammadiyah dalam kerangka kemodernanya, yaitu yang pertama pertumbuhan dan kemajuan ide tentang pertumbuhan growth dan kemajuan progress merupakan dua kata kunci utama kebudayaan modern yang menggambarkan akumulasi jumlah quantity dan peningkatan keragaman diversity.Keduanya merupakan rumusan atau turunan dari ciri utama modernisme dan materialisme Muhammadiyah mencoba menyuntikkan nilai-nilai materialisme kedalam masyarakat yang telah keropos karena mengaggap kehidupan materi duniawi tidak memiliki nilai-nilai secara religius.
2. MASYUMI
Masyumi, yang didirikan oleh hampir semua organisasi Islam, baik pasca maupun pra kemerdekaan RI, adalah sebagai partai yang berniat merealisasikan pandangan Islam dan Politik di Indonesia, Lahirnya partai ini ditujukan guna untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan tanggal 7 November 1945, diadakanlah muktamar umat Islam Indonesia di Yogyakarta, di dalam keputusannya, diambil kesepakatan bahwa diperlukannya suatu wadah untuk menampung aspirasi umat Islam dan menyalurkannya melalui wadah tersebut.
Maka, partai Masyumi pun dibentuk, Besarnya partai Masyumi ternyata tidak bisa dielakkan dari perpecahan bahkan terjadi pembubaran pada tahun 1960 oleh rezim pada saat itu, Setelah bergantinya dua rezim, ternyata tidak mampu menghilangkan roh partai itu, justru sebaliknya, sisa-sisa para pegiatnya sanggup membangkitkan dan melahirkannya kembali, Namun, disayangkan persatuan para pegiatnya itu tidak ada, sehingga melahirkan beberapa bentuk partai Islam yang berbeda dari partai Masyumi atau sebagai metamorfosis partai Masyumi.
Hubungan yang terjadi antara Masyumi dengan partai yang lahir dalam pemilu 1999 dan partai apa yang merupakan partai metamorfosis dari partai Masyumi Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari penyusunan ini, maka pendekatan yang digunakan adalah sosio-historis, yaitu menela’ah fenomena sosial dan partai-partai yang lahir pada pemilu 1999 dengan memaparkan perjalanan Masyumi dari awal berdirinya (1945) hingga partai ini dibubarkan (1960), Kemudian data yang terkumpul dianalisis secara kuantitaif dengan metode berpikir deduktif-induktif Dengan menggunakan pendekatan dan metode tersebut di atas menunjukkan bahwa, mendirikan partai Islam merupakan suatu kemaslahatan bagi umat. Sebagaimana Masyumi, pembentukan partai tersebut selain bertujuan untuk kelangsungan demokrasi, juga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar